Hujan Bulan September



           

Hujan masih mengucur deras membasahi tanah, aroma petrikor mulai menyeruak. Baru beberapa menit aku duduk di kursi ini, memandangi tetes-tetes hujan yang tak berhenti. Aku bekerja separuh hari, menghabiskan setengah waktu ku di rumah dengan perasaan was-was dan berkecamuk di dada. Aku enggan beranjak dari kamar ini karena hawa dingin menyelusup tubuhku. Tak ada seorangpun di sini. Hanya aku. Ku langkahkan kaki menyusuri lantai dingin rumah ini, aku ingin merasakan hujan lebih dekat. Ku tengadahkan tangan lalu merasakan dingin serta lembutnya air hujan yang turun dari ujung atap. Dalam hati, aku meraung, aku menangis menyesapi rasa sakit ini. Seharusnya ini adalah hari paling bahagia bagiku. Hari yang seharusnya kuhabiskan dengan nya meniup harapan pada lilin-lilin kecil di atas cake yang indah.
Pertengkaranku dengan dia, El, benar-benar menyita segala aktivitasku. Dadaku dipenuhi dengan perasaan bimbang, pergi atau bertahan? Mengingat usia hubungan ini bukan lah waktu yang sebentar. Dia adalah orang yang pernah menyembuhkan ku dari luka masa lalu. Malaikat yang datang membawa penawar dan membangkitkan ku dari mati rasa ini. Dan kini kurasakan perubahan itu, dia bukanlah orang yang dulu. Bukan El yang ku kenal dulu. Malaikat ku telah berubah. Diiringi hujan, ratap tangis semakin menderu, dibawa angin senja itu, kutitiskan puisi lewat aksara-aksara receh pada tiap tetes hujan yang turun.
            Aku menatap kosong ke arah langit lewat jendela kamarku yang berembun. Seketika aku dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintu. Aku melihat pak pos datang dengan seragam nya, dengan ramah dia tersenyum bertanya, “Permisi, apa benar ini rumahnya ibu Disil?”
            “Iya pak, saya sendiri.”
            “Ini mbak, ada kiriman untuk mbak. Silahkan tanda tangan di sini”
            Tanpa banyak kata, ku tanda tangani surat tanda bukti itu. Namun mata sembab ku masih tertuju pada paket berbungkus warna coklat itu. Pak pos sedari tadi sudah berlalu, aku masih berdiri di daun pintu, menatap kosong ke daun-daun kering berjatuhan. Beberapa saat kemudian, aku mengunci pintu, kembali ke meja ku, membawa kiriman misterius ini dengan hati yang masih berkecamuk tentunya.
            Perlahan, dengan tatapan kosong aku membuka kotak coklat itu. Bungkus nya tidak terlalu besar, tapi ada sesuatu yang bergerak di dalam, ketika ku mengguncangnya. Nampaklah kotak polos berwarna pink. Aku membuka kotak itu dengan hati-hati, penuh rasa penasaran. Seketika senyum tersungging dari bibir ku, ada bola kaca indah di sana. Bola kaca dengan miniatur sepasang kekasih berpegangan tangan dan salju di dalamnya. Pipiku semakin merona ketika mendapati sepucuk surat yang disisipkan dalam kotak korek api yang dihias dengan kertas warna warni. Ku buka tempat surat itu, seketika aku disambut dengan tulisan “I LOVE YOU” dengan kertas berbentuk hati berwarna merah, sontak aku tersenyum kecil, sesekali sumringah, dan merona lah pipiku. Aku tersipu malu dan mulai membaca surat itu. 

“Aku tak ingin menjadi lautan yang terlalu dalam untuk kau selami. 
Aku tak ingin menjadi samudera yang terlalu luas untuk kau arungi. 
Aku tak ingin menjadi gunung yang terlalu lelah untuk kau daki. 
Aku tak ingin menjadi mentari yang walaupun benderang, namun menyengat. 
Aku tak ingin menjadi pelangi, yang meskipun indah, namun hanya sesaat. 
Aku hanya ingin menjadi HUJAN yang akan selalu kembali walaupun jatuh berkali-kali.
Happy birthday yang ke 22 tahun, Disil.”

Mataku tertuju pada pesan singkat yang ditulis kecil-kecil di bawah surat itu, 

“Ini ditulis jam 4 subuh oleh orang insom yang kurang kerjaan, makanya cakar ayam. HARAP MAKLUM.”

Hahaha sontak aku tertawa. Sedetik aku melupakan kesedihan dan kekesalan ku senja itu. Aku mendapati nomor telepon pengirimnya dan berbicara dengan orang yang telah berhasil membuat ku tertawa.
            “Halo, apa benar ini dengan Bayu?”
            “Ya, benar. Maaf, ini siapa?”, sambungnya dari seberang telepon.
            “Saya cuma mau bilang makasih buat kirimannya.”
            Di seberang dia tampak sedang sibuk. Ada banyak suara di sana hingga memutuskan untuk mengakhiri percakapan dan memilih untuk mengobrol via chat. Mengingat tentang dia, orang ini yang pertama kutemui di akun facebook ku, memberikan komentar pada postingan ku. Postingan tentang hasil akhir game yang ku share. Aku dan dia tidak bertukar nomor telepon. Aku tidak terlalu begitu mengenalnya hingga sepertiga malam membawa ku dan dia dalam percakapan yang penuh warna merah jambu. Hingga sebelum tanggal ulang tahun ini datang, dia meminta alamat lengkapku dengan basa-basi kata ingin mengirim paket dengan temannya, dititip ke aku aja. Well, aku tertipu isi surat itu. Di tengah obrolan seru kami lewat telepon, terkadang dia suka bikin lelucon.
            “Main permainan yuk?”, dia bertanya
            “Main apa?”
            “Kamu harus mengatakan 1 kata di awal kalimat yang aku katakan.”
            “Contohnya?”
            “Kalau aku bilang ‘hari ini hari rabu’, maka kamu harus jawab ‘hari’, OK?”
            “Oke, siapa takut.”
            “Tapi harus cepat?”
            “Ha??”
            “Mulai. Sore ini hujan.”
            “Sore.”
            “Iya, nah gitu. Besok hari Kamis.
            “Besok”
            “Semalam ibu ke pasar
            “Semalam”, aku mulai bersemangat dan mempercepat berikan jawaban.
            “Tadi pagi ga hujan
            “Tadi”
            “Sayang ga sama aku?”
            “Sayang.”
            Aku terdiam.
            “Makasih. Hehe.” Dia menimpali
            “Ihhhhhh.... curanggg. >.< kog malah gitu sih”
            Dia hanya terdengar cekikikan dari seberang telepon dan kutahan rasa malu dan kudapati pipiku sudah memerah. Begitulah hari-hari kulewati dengan warna merah jambu walau ku tahu hujan di luar sana semakin menderas. 

  
            Percakapan sepertiga malam dengan nya benar-benar mampu membuat ku melupakan sejenak rasa sesak di dada. Beberapa hari aku tidak berhubungan dengan El membuatku terkadang lupa diri. Sampai akhirnya aku menjelaskan semuanya pada Bayu dan dia turut bersedih dan memberiku penguatan. Dalam hati, aku tidak bisa begitu saja memutuskan suatu hal dimana aku masih benar-benar belum sanggup untuk hal itu.
            “Jangan bilang ada yang menyakiti kamu ke aku?”
            “Kenapa?” aku bertanya penasaran.
            “Nanti orang itu aku ajak main catur.”
            “Hehehe.”
            Pertengahan bulan September, hujan semakin deras setiap harinya. Terkadang menjadi kendala di setiap pekerjaanku. Pekerjaan yang sehari-hari nya aku lewati dengan mendidik anak-anak, kutempuh hanya dengan naik angkutan umum, atau diantarkan seorang teman jika beruntung. Bukan ku tidak bisa naik motor, tapi ibuku tidak mengizinkan ku pergi karena beberapa tahun yang lalu aku pernah kecelakaan parah hingga harus koma beberapa hari. Setengah dari ingatanku hilang. Aku tidak bisa mengingat dengan pasti apa yang terjadi padaku 10 tahun yang lalu. Hujan semakin deras, tapi rasa sedih di hati mulai berkurang sejak kedatangannya. Aku tidak pernah meminta Bayu untuk datang sebagai pelipur lara saat aku kesakitan. Dia berjanji pada dirinya dan diriku untuk menghubungi nya kapan saja aku merasa sakit. Seperti candu, aku ingin mengulang pertemuan itu lagi dengannya.
            Ya, pertengahan bulan September, kami bertemu di suatu keadaan yang kebetulan. Waktu itu dia pulang ke kampungnya dari tempat dia biasa bekerja. Dalam keadaan berduka, aku jiarah ke peristirahatan terakhir bibiku di kota yang sama dengan Bayu tinggal. Pertemuan singkat yang berjalan sangat cepat itu seolah menghipnotisku. Dia mengantarku pulang ke rumah, perjalanan jauh dari tempat pemakaman bibi ke rumah ku tidak membuat dia merasa lelah.   
“Maaf ya, tadi keluarga ku agak heboh”.
            “Iya ga pa-pa, aku senang bisa ketemu dengan keluargamu”, timpalnya.
            “Btw aku harus segera berangkat kerja nih jam 5 masuk, kamu pulang aja ya ntar gitu sampe di rumah aku.”
            “Gak. Aku mau nganter kamu sampe ke tempat kerjaan.”
            “Ih, bandel amat sih. Gamau. Pulang ga >.< “
            “Gak. Aku anter”
            Tidak ada janji untuk pulang bareng, pukul 19.00 aku bergegas pulang, tapi kudapati dia dengan motornya di seberang jalan tempat aku bekerja.
            “Eh, kog masih di sini? Astaga. Kan aku tadi udah suruh pulang aja. Berapa jam kamu nungguin aku loh, Bayuuuu..”
            “Gak, maunya sama kamu pulang bareng aja”
            “Maaf udah buat nunggu lama. Rumahmu jauh loh padahal, gak takut begal apa?”
        “Tenang aja, ntar begalnya aku ajak main catur. Hahaha”, dia tertawa kecil lalu tersenyum manis.
            Aku dan Bayu berhenti di suatu tempat makan dan bercengkrama sambil bercanda tawa. Dia menceritakan semua tentang dirinya, begitupun dengan aku. Pertemuan singkat itu membawaku pada pertanyaan tentang hari ini. Ya, hujan sama sekali tidak menampakkan diri, di antara hari-hari yang lewat hujan berlalu begitu derasnya.
            “Eh btw ini hujan kok ga turun ya? September kan berhujan.”, aku bertanya.
            “Mungkin aku udah dikasih ijin.”
            “Dikasih ijin?”
            “Iya. Ketemu sama kamu, Disil.”
            Aku pulang dengan perasaan bahagia. Separuh hatiku sudah mulai menutup luka nya. Bulan September aku habiskan dengan rasa senang karena nya. Aku tidak mencintai Bayu layaknya aku mencintai El, aku hanya merasa nyaman bersamanya. Hingga suatu waktu aku dan Bayu menetapkan sebuah janji untuk pertemuan lainnya.
            “Aku mau mencuri waktumu sebentar.”
            “Maksudnya?”, aku bertanya.
          “Iya, hari free kamu cuma minggu kan? Aku mau ngajak kamu pergi. Tapi tanpa motor, tanpa handphone.”
            “Gimana ceritanya itu?”
            “Iya, kita habiskan waktu seharian.”
            “Jalan kaki?”
            “Kalau kamu mau.”
            “AKU MAUUUUU.. Udah lama ga jalan-jalan keliling kota pake kaki doank soalnya”
            “Deal”
            Hari-hari kulewati dengan rasa semakin jatuh ke dalam kegelapan ini. Bayu selalu meminta agar dia selalu ada untukku, namun aku selalu menolak.
“Jika kamu butuh aku saat kesakitan, tinggal tekan tombol alarm nya, aku pastikan datang.”
            “Tidak usah repot-repot. Aku bisa sendiri kok”
            “Aku pasti datang”
            Waktu itu menujukkan pukul 00.46 tengah malam, di percakapan tengah malam itu, aku merasa kesakitan. Tidak dapat kutahan lagi hingga aku mengalami pendarahan di hidung. Serasa toxic, aku merintih. Aku tidak memberitahu siapapun, tapi malam itu, Bayu memaksa ku untuk memberitahu apa yang terjadi padaku.
            “Aku baik-baik aja”
            “Aku udah gerak nih dari rumah. Jangan coba-coba bohong sama aku.”
            ”Iya benar, aku baik-baik aja. Kamu jangan kemana-mana tengah malam gini. Ingat di kotamu rawan begal. Aku tidur duluan ya”
            Seperempat malam kuhabiskan dengan merintih kesakitan, aku tidak tidur. Hingga fajar menyingsing, kudapati kotak pesanku penuh dari Bayu. Dia khawatir, tapi tetap kukatakan aku baik-baik saja. Aku tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan orang tua ku sendiri. Demikianlah hari-hari ku berlalu setiap hari nya.
Dalam keheningan malam, bayang-bayang El muncul. Perasaan bersalah mulai meracuni pikiranku hingga malam-malam berikutnya perbincanganku dengan Bayu mulai tidak membaik. Di samping kondisi fisikku yang melemah ini, pikiranku berkecamuk. Rasa sakit semakin menusuk-nusuk relung hatiku saat ku putuskan untuk meminta Bayu pergi.
“Sebaiknya kamu pergi saja. Bukan maksudku mencampakkanmu. Kamu kan tahu aku punya pacar. Aku ga mungkin ngasih kamu harapan untuk menjadi lebih dekat lagi denganku. Memang sebelum-sebelumnya aku pernah bilang jangan pernah katakan goodbye. Kata see you selalu lebih baik.”, kataku padanya lewat kotak pesan yang kukirimkan.
“Aku merindukanmu”
Aku diam.
“Ya, aku ingin menghabiskan sepertiga malam untuk merindukanmu.”
“Jangan merindukanku”
“Tak bolehkah aku hanya sekedar merindukanmu?”
“Kita masih satu kali bertemu.”
“Aku merindukanmu sendirian. Dan aku tersiksa sendiri. Saat hujan, aku merindukanmu. Dan ini membuat aku sakit. Rindu ini egois.”
“Tenyata rindu bisa sesakit itu.”
“Sakit di kepala tak sebanding dengan rasa sakit di dada”, dia menambahi percakapan itu dengan emoticon menangis, membuat ku merasa ikutan sakit.
“Aku adalah hujan. Jika kau tidak suka, silahkan berteduh.”, aku menitikkan air mataku.
“Jika aku tidak suka. Untuk apa aku basah kuyup?”
“Jangan basah kuyup. Dingin”
“Tak apa dingin. Jika bermain hujan itu berarti kau sedang memelukku. Aku tak pernah memakai payung. Karna hujan bagiku adalah kau sedang memelukkku ketika aku rindu. Aku merindukanmu di bawah hujan.”
“Ada yang percaya bahwa di dalam hujan terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu sesuatu. Senandung rindu yang bisa meresonansi ingatan masa lalu.”
“Jika kau adalah hujan, aku rela seharian berada di dalam pelukanmu.”
Aku menangis.
“Dan aku masih merindukanmu”


Beberapa hari sejak perdebatan hati itu berlalu, percakapan ku dengan Bayu mulai terjalin biasa saja sejak ku katakan mustahil jika aku nantinya menghabiskan sisa waktuku denganmu. Pernikahan bukanlah konsep dalam percakapanku dan Bayu hingga aku berani  mengatakan demikian. Seperti sudah memiliki niat di ujung percakapan ini, malam menjemput dengan perasaan was-was.
“Aku pergi dulu ya.”
“Kemana?”, tanyaku penasaran.
“Ada urusan. Sepertinya akan lama.”
Minggu, senin, selasa, rabu, kamis hingga akhir pekan tak kudapati sedikit pun kabarnya. Bayu yang telah mengobati sedikit dari luka ku, walau aku tak memintanya, kini telah menghilang jauh.
Ku raih telepon seluler ku, kudapati sebuah tulisan di akun facebook-nya, kubaca. Butir-butir air mata mulai mengalir. Tangis yang selama ini tak pernah kuperlihatkan lagi sejak kepergiannya beberapa waktu lalu, kini memecah saat aku membaca kata demi kata yang tertulis di status itu.

“Seperti tanah basah sepeninggal hujan. Yang kan kering di bawah terik sang mentari. Dan membiaskan cahaya indah, melukiskan pelangi di cakrawala.
Begitupun hadirmu. Mungkin akan lenyap tersapu ombak di lautan. Seperti hujan kemarin, yang hilang lenyap tak membekas. Dan berlalu menjadi sebuah kenangan. Terkadang, orang yang merasa tersakiti tak menyadari bahwa dia yang duluan menyakiti.”

Tik tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walaupun awan mulai menangis, aku enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Kesenduan senja berhujan ini semakin menderu ketika kudapati pesan singkat tertulis di dindingnya kemudian.

“Aku pergi ya, kan sudah ada dia.
Semoga dia lebih baik dalam hal menjagamu di banding aku
Semoga ia lebih bisa menyayangimu, lebih besar dari sayangku kepadamu
Semoga dia tak sebodoh aku. Yang rela memperjuangkanmu, tapi tak kau perdulikan.”

            Di hari itu, senja menunggu malam dengan was-was. Perasaan serupa kekhawatiran membayang di sekujur warna jingganya. Cemas memerciki langit. Bercak-bercak jelaga menebar di cakrawala. Sekumpulan pertanyaan dan gumaman perihal sejarah yang dimiliki satu orang berkerlap-kerlip srupa kunang-kunang, terbang dalam ruang mata.
            Sepasang bola mata terguncang. Sepasang retina dan pupil mengerang. Malam terlambat datang. Senja kian muram tapi ada kesan dalam yang mirip warna-warni ditebar sepersekian jarak dari sorot mata. Getar canggung mengusik kalbu.


   Hujan sejak sore di akhir September bagai menuntun aku untuk duduk di depan meja ini lagi, memikirkanmu lagi.
                Memikirkanmu di akhir malam yang dingin, sedingin percakapan aku dan kamu sejak memutuskan untuk hidup tanpa ada kata “kita”. Rindu merangkak dari balik bantal. Rindu yang kusembunyikan dan hanya kutengok ketika malam kesepian, ia bersingut di atas kasur. Seperti tuannya, ia terkadang menyebalkan dan keras kepala. Hujan sudah berhenti tapi dingin terus saja memeluk kaki dan ku pangku selimut sampai menjuntai dari kursi ini. Aku sudah pernah melupakanmu dan melewati hari seperti ini. Hari dengan rindu yang menyebalkan juga dengan hujan di dalamnya, dengan dingin yang menggigilkan kaki ku yang lemah. Tapi hari seperti ini selalu saja terulang kembali. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin terhanyut dalam kesedihan saat hujan turun malam ini.

            Hujan bulan September mengajarkan ku bahwa malam yang datang dengan rindu kadang terasa seperti de javu. Aku merindukanmu, duduk dan melarungkannya dalam tulisan lewat aksara receh yang sendu. Sesekali menangis, sesekali tersenyum lalu tidur dan bermimpi tentang hadirmu yang begitu singkat. Aku lelah merindukanmu sendirian. Sejak hujan sore tadi, aku lelah bermain dengan aksara sendu ini sendirian.
             Kalau kalian kebetulan membaca tulisan ini, lalu berharap aku dan Bayu akan mengukir sebait cerita romantis setelahnya, siap-siap lah kecewa. Karena... hari bahagia ku yang kesekian dengannya adalah hari bahagia terakhir dengannya. Seharusnya, dari awal aku sudah tahu; kisah ini tidak lebih dari sekedar sosok aku yang menaruh hati pada cinta yang salah di tengah gonjang-ganjingnya kabar bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang dia genggam.
Jadi, mari kita simpan saja sosok laki-laki kalem, murah senyum, manis, lembut sekaligus ramah ini dalam kotak memori. Dan sampai jumpa, semesta memang tak pernah benar-benar akan mendekatkan kita, ya kan? Hari itu, aku menemukan sesuatu. Kalau boleh jujur, aku ingin bilang aku benci diriku yang terlalu pandai menyadari ada hal penting yang hilang.
Juga, aku benci harus bilang ini; aku telah menyadari, kalau hari itu, sebenarnya dia sudah pergi.


Pematangsiantar, 9 Oktober 2018
02:11, berhujan


Komentar