Hujan
masih mengucur deras membasahi tanah, aroma petrikor mulai menyeruak. Baru
beberapa menit aku duduk di kursi ini, memandangi tetes-tetes hujan yang tak
berhenti. Aku bekerja separuh hari, menghabiskan setengah waktu ku di rumah
dengan perasaan was-was dan berkecamuk di dada. Aku enggan beranjak dari kamar
ini karena hawa dingin menyelusup tubuhku. Tak ada seorangpun di sini. Hanya
aku. Ku langkahkan kaki menyusuri lantai dingin rumah ini, aku ingin merasakan
hujan lebih dekat. Ku tengadahkan tangan lalu merasakan dingin serta lembutnya
air hujan yang turun dari ujung atap. Dalam hati, aku meraung, aku menangis
menyesapi rasa sakit ini. Seharusnya ini adalah hari paling bahagia bagiku.
Hari yang seharusnya kuhabiskan dengan nya meniup harapan pada lilin-lilin
kecil di atas cake yang indah.
Pertengkaranku
dengan dia, El, benar-benar menyita segala aktivitasku. Dadaku dipenuhi dengan
perasaan bimbang, pergi atau bertahan? Mengingat usia hubungan ini bukan lah
waktu yang sebentar. Dia adalah orang yang pernah menyembuhkan ku dari luka
masa lalu. Malaikat yang datang membawa penawar dan membangkitkan ku dari mati
rasa ini. Dan kini kurasakan perubahan itu, dia bukanlah orang yang dulu. Bukan
El yang ku kenal dulu. Malaikat ku telah berubah. Diiringi hujan, ratap tangis
semakin menderu, dibawa angin senja itu, kutitiskan puisi lewat aksara-aksara
receh pada tiap tetes hujan yang turun.
Aku
menatap kosong ke arah langit lewat jendela kamarku yang berembun. Seketika aku
dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintu. Aku melihat pak pos datang
dengan seragam nya, dengan ramah dia tersenyum bertanya, “Permisi, apa benar
ini rumahnya ibu Disil?”
“Iya
pak, saya sendiri.”
“Ini
mbak, ada kiriman untuk mbak. Silahkan tanda tangan di sini”
Tanpa
banyak kata, ku tanda tangani surat tanda bukti itu. Namun mata sembab ku masih
tertuju pada paket berbungkus warna coklat itu. Pak pos sedari tadi sudah
berlalu, aku masih berdiri di daun pintu, menatap kosong ke daun-daun kering
berjatuhan. Beberapa saat kemudian, aku mengunci pintu, kembali ke meja ku,
membawa kiriman misterius ini dengan hati yang masih berkecamuk tentunya.
Perlahan,
dengan tatapan kosong aku membuka kotak coklat itu. Bungkus nya tidak terlalu
besar, tapi ada sesuatu yang bergerak di dalam, ketika ku mengguncangnya.
Nampaklah kotak polos berwarna pink. Aku membuka kotak itu dengan hati-hati,
penuh rasa penasaran. Seketika senyum tersungging dari bibir ku, ada bola kaca
indah di sana. Bola kaca dengan miniatur sepasang kekasih berpegangan tangan
dan salju di dalamnya. Pipiku semakin merona ketika mendapati sepucuk surat
yang disisipkan dalam kotak korek api yang dihias dengan kertas warna warni. Ku
buka tempat surat itu, seketika aku disambut dengan tulisan “I LOVE YOU” dengan
kertas berbentuk hati berwarna merah, sontak aku tersenyum kecil, sesekali
sumringah, dan merona lah pipiku. Aku tersipu malu dan mulai membaca surat
itu.
“Aku tak ingin menjadi lautan yang terlalu dalam
untuk kau selami.
Aku tak ingin menjadi samudera yang terlalu luas
untuk kau arungi.
Aku tak ingin menjadi gunung yang terlalu lelah
untuk kau daki.
Aku tak ingin menjadi mentari yang walaupun
benderang, namun menyengat.
Aku tak ingin menjadi pelangi, yang meskipun indah,
namun hanya sesaat.
Aku hanya ingin menjadi HUJAN yang akan selalu
kembali walaupun jatuh berkali-kali.
Happy birthday yang ke 22 tahun, Disil.”
Mataku
tertuju pada pesan singkat yang ditulis kecil-kecil di bawah surat itu,
“Ini ditulis jam 4 subuh oleh orang insom yang kurang kerjaan, makanya cakar ayam. HARAP MAKLUM.”
Hahaha
sontak aku tertawa. Sedetik aku melupakan kesedihan dan kekesalan ku senja itu.
Aku mendapati nomor telepon pengirimnya dan berbicara dengan orang yang telah
berhasil membuat ku tertawa.
“Halo,
apa benar ini dengan Bayu?”
“Ya,
benar. Maaf, ini siapa?”, sambungnya dari seberang telepon.
“Saya
cuma mau bilang makasih buat kirimannya.”
Di
seberang dia tampak sedang sibuk. Ada banyak suara di sana hingga memutuskan
untuk mengakhiri percakapan dan memilih untuk mengobrol via chat. Mengingat
tentang dia, orang ini yang pertama kutemui di akun facebook ku,
memberikan komentar pada postingan ku. Postingan tentang hasil akhir game yang
ku share. Aku dan dia tidak bertukar nomor telepon. Aku tidak
terlalu begitu mengenalnya hingga sepertiga malam membawa ku dan dia dalam
percakapan yang penuh warna merah jambu. Hingga sebelum tanggal ulang tahun ini
datang, dia meminta alamat lengkapku dengan basa-basi kata ingin mengirim paket
dengan temannya, dititip ke aku aja. Well, aku tertipu isi surat itu. Di tengah
obrolan seru kami lewat telepon, terkadang dia suka bikin lelucon.
“Main
permainan yuk?”, dia bertanya
“Main
apa?”
“Kamu
harus mengatakan 1 kata di awal kalimat yang aku katakan.”
“Contohnya?”
“Kalau
aku bilang ‘hari ini hari rabu’, maka kamu harus jawab ‘hari’,
OK?”
“Oke,
siapa takut.”
“Tapi
harus cepat?”
“Ha??”
“Mulai. Sore
ini hujan.”
“Sore.”
“Iya,
nah gitu. Besok hari Kamis.”
“Besok”
“Semalam
ibu ke pasar”
“Semalam”,
aku mulai bersemangat dan mempercepat berikan jawaban.
“Tadi
pagi ga hujan”
“Tadi”
“Sayang
ga sama aku?”
“Sayang.”
Aku
terdiam.
“Makasih.
Hehe.” Dia menimpali
“Ihhhhhh....
curanggg. >.< kog malah gitu sih”
Dia
hanya terdengar cekikikan dari seberang telepon dan kutahan rasa malu dan
kudapati pipiku sudah memerah. Begitulah hari-hari kulewati dengan warna merah
jambu walau ku tahu hujan di luar sana semakin menderas.
Percakapan
sepertiga malam dengan nya benar-benar mampu membuat ku melupakan sejenak rasa
sesak di dada. Beberapa hari aku tidak berhubungan dengan El membuatku
terkadang lupa diri. Sampai akhirnya aku menjelaskan semuanya pada Bayu dan dia
turut bersedih dan memberiku penguatan. Dalam hati, aku tidak bisa begitu saja
memutuskan suatu hal dimana aku masih benar-benar belum sanggup untuk hal itu.
“Jangan bilang ada yang menyakiti kamu ke aku?”
“Kenapa?”
aku bertanya penasaran.
“Nanti
orang itu aku ajak main catur.”
“Hehehe.”
Pertengahan
bulan September, hujan semakin deras setiap harinya. Terkadang menjadi kendala
di setiap pekerjaanku. Pekerjaan yang sehari-hari nya aku lewati dengan
mendidik anak-anak, kutempuh hanya dengan naik angkutan umum, atau diantarkan
seorang teman jika beruntung. Bukan ku tidak bisa naik motor, tapi ibuku tidak
mengizinkan ku pergi karena beberapa tahun yang lalu aku pernah kecelakaan
parah hingga harus koma beberapa hari. Setengah dari ingatanku hilang. Aku
tidak bisa mengingat dengan pasti apa yang terjadi padaku 10 tahun yang lalu.
Hujan semakin deras, tapi rasa sedih di hati mulai berkurang sejak
kedatangannya. Aku tidak pernah meminta Bayu untuk datang sebagai pelipur lara
saat aku kesakitan. Dia berjanji pada dirinya dan diriku untuk menghubungi nya
kapan saja aku merasa sakit. Seperti candu, aku ingin mengulang pertemuan itu
lagi dengannya.
Ya,
pertengahan bulan September, kami bertemu di suatu keadaan yang kebetulan.
Waktu itu dia pulang ke kampungnya dari tempat dia biasa bekerja. Dalam keadaan
berduka, aku jiarah ke peristirahatan terakhir bibiku di kota yang sama dengan
Bayu tinggal. Pertemuan singkat yang berjalan sangat cepat itu seolah
menghipnotisku. Dia mengantarku pulang ke rumah, perjalanan jauh dari tempat
pemakaman bibi ke rumah ku tidak membuat dia merasa lelah.
“Maaf
ya, tadi keluarga ku agak heboh”.
“Iya
ga pa-pa, aku senang bisa ketemu dengan keluargamu”, timpalnya.
“Btw
aku harus segera berangkat kerja nih jam 5 masuk, kamu pulang aja ya ntar gitu
sampe di rumah aku.”
“Gak.
Aku mau nganter kamu sampe ke tempat kerjaan.”
“Ih,
bandel amat sih. Gamau. Pulang ga >.< “
“Gak.
Aku anter”
Tidak
ada janji untuk pulang bareng, pukul 19.00 aku bergegas pulang, tapi kudapati
dia dengan motornya di seberang jalan tempat aku bekerja.
“Eh,
kog masih di sini? Astaga. Kan aku tadi udah suruh pulang aja. Berapa jam kamu
nungguin aku loh, Bayuuuu..”
“Gak,
maunya sama kamu pulang bareng aja”
“Maaf
udah buat nunggu lama. Rumahmu jauh loh padahal, gak takut begal apa?”
“Tenang
aja, ntar begalnya aku ajak main catur. Hahaha”, dia tertawa kecil lalu tersenyum
manis.
Aku
dan Bayu berhenti di suatu tempat makan dan bercengkrama sambil bercanda tawa.
Dia menceritakan semua tentang dirinya, begitupun dengan aku. Pertemuan singkat
itu membawaku pada pertanyaan tentang hari ini. Ya, hujan sama sekali tidak
menampakkan diri, di antara hari-hari yang lewat hujan berlalu begitu derasnya.
“Eh
btw ini hujan kok ga turun ya? September kan berhujan.”, aku bertanya.
“Mungkin
aku udah dikasih ijin.”
“Dikasih
ijin?”
“Iya.
Ketemu sama kamu, Disil.”
Aku
pulang dengan perasaan bahagia. Separuh hatiku sudah mulai menutup luka nya.
Bulan September aku habiskan dengan rasa senang karena nya. Aku tidak mencintai
Bayu layaknya aku mencintai El, aku hanya merasa nyaman bersamanya. Hingga
suatu waktu aku dan Bayu menetapkan sebuah janji untuk pertemuan lainnya.
“Aku
mau mencuri waktumu sebentar.”
“Maksudnya?”,
aku bertanya.
“Iya,
hari free kamu
cuma minggu kan? Aku mau ngajak kamu pergi. Tapi tanpa motor, tanpa handphone.”
“Gimana
ceritanya itu?”
“Iya,
kita habiskan waktu seharian.”
“Jalan
kaki?”
“Kalau
kamu mau.”
“AKU
MAUUUUU.. Udah lama ga jalan-jalan keliling kota pake kaki doank soalnya”
“Deal”
Hari-hari
kulewati dengan rasa semakin jatuh ke dalam kegelapan ini. Bayu selalu meminta
agar dia selalu ada untukku, namun aku selalu menolak.
“Jika
kamu butuh aku saat kesakitan, tinggal tekan tombol alarm nya, aku pastikan
datang.”
“Tidak
usah repot-repot. Aku bisa sendiri kok”
“Aku
pasti datang”
Waktu
itu menujukkan pukul 00.46 tengah malam, di percakapan tengah malam itu, aku merasa
kesakitan. Tidak dapat kutahan lagi hingga aku mengalami pendarahan di hidung.
Serasa toxic,
aku merintih. Aku tidak memberitahu siapapun, tapi malam itu, Bayu memaksa ku
untuk memberitahu apa yang terjadi padaku.
“Aku
baik-baik aja”
“Aku
udah gerak nih dari rumah. Jangan coba-coba bohong sama aku.”
”Iya
benar, aku baik-baik aja. Kamu jangan kemana-mana tengah malam gini. Ingat di
kotamu rawan begal. Aku tidur duluan ya”
Seperempat
malam kuhabiskan dengan merintih kesakitan, aku tidak tidur. Hingga fajar
menyingsing, kudapati kotak pesanku penuh dari Bayu. Dia khawatir, tapi tetap
kukatakan aku baik-baik saja. Aku tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan
orang tua ku sendiri. Demikianlah hari-hari ku berlalu setiap hari nya.
Dalam
keheningan malam, bayang-bayang El muncul. Perasaan bersalah mulai meracuni
pikiranku hingga malam-malam berikutnya perbincanganku dengan Bayu mulai tidak
membaik. Di samping kondisi fisikku yang melemah ini, pikiranku berkecamuk.
Rasa sakit semakin menusuk-nusuk relung hatiku saat ku putuskan untuk meminta
Bayu pergi.
“Sebaiknya
kamu pergi saja. Bukan maksudku mencampakkanmu. Kamu kan tahu aku punya pacar.
Aku ga mungkin ngasih kamu harapan untuk menjadi lebih dekat lagi denganku.
Memang sebelum-sebelumnya aku pernah bilang jangan pernah katakan goodbye.
Kata see you selalu lebih baik.”, kataku padanya lewat kotak
pesan yang kukirimkan.
“Aku
merindukanmu”
Aku
diam.
“Ya,
aku ingin menghabiskan sepertiga malam untuk merindukanmu.”
“Jangan
merindukanku”
“Tak
bolehkah aku hanya sekedar merindukanmu?”
“Kita
masih satu kali bertemu.”
“Aku
merindukanmu sendirian. Dan aku tersiksa sendiri. Saat hujan, aku merindukanmu.
Dan ini membuat aku sakit. Rindu ini egois.”
“Tenyata
rindu bisa sesakit itu.”
“Sakit
di kepala tak sebanding dengan rasa sakit di dada”, dia menambahi percakapan
itu dengan emoticon menangis, membuat ku merasa ikutan sakit.
“Aku
adalah hujan. Jika kau tidak suka, silahkan berteduh.”, aku menitikkan air
mataku.
“Jika
aku tidak suka. Untuk apa aku basah kuyup?”
“Jangan
basah kuyup. Dingin”
“Tak
apa dingin. Jika bermain hujan itu berarti kau sedang memelukku. Aku tak pernah
memakai payung. Karna hujan bagiku adalah kau sedang memelukkku ketika aku
rindu. Aku merindukanmu di bawah hujan.”
“Ada
yang percaya bahwa di dalam hujan terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh
mereka yang rindu sesuatu. Senandung rindu yang bisa meresonansi ingatan masa
lalu.”
“Jika
kau adalah hujan, aku rela seharian berada di dalam pelukanmu.”
Aku
menangis.
“Dan
aku masih merindukanmu”
Beberapa
hari sejak perdebatan hati itu berlalu, percakapan ku dengan Bayu mulai
terjalin biasa saja sejak ku katakan mustahil jika aku nantinya menghabiskan
sisa waktuku denganmu. Pernikahan bukanlah konsep dalam percakapanku dan Bayu
hingga aku berani mengatakan demikian. Seperti sudah memiliki niat
di ujung percakapan ini, malam menjemput dengan perasaan was-was.
“Aku
pergi dulu ya.”
“Kemana?”,
tanyaku penasaran.
“Ada
urusan. Sepertinya akan lama.”
Minggu,
senin, selasa, rabu, kamis hingga akhir pekan tak kudapati sedikit pun
kabarnya. Bayu yang telah mengobati sedikit dari luka ku, walau aku tak
memintanya, kini telah menghilang jauh.
Ku
raih telepon seluler ku, kudapati sebuah tulisan di akun facebook-nya,
kubaca. Butir-butir air mata mulai mengalir. Tangis yang selama ini tak pernah
kuperlihatkan lagi sejak kepergiannya beberapa waktu lalu, kini memecah saat
aku membaca kata demi kata yang tertulis di status itu.
“Seperti tanah basah sepeninggal hujan. Yang kan
kering di bawah terik sang mentari. Dan membiaskan cahaya indah, melukiskan
pelangi di cakrawala.
Begitupun hadirmu. Mungkin akan lenyap tersapu ombak
di lautan. Seperti hujan kemarin, yang hilang lenyap tak membekas. Dan berlalu
menjadi sebuah kenangan. Terkadang, orang yang merasa tersakiti tak menyadari
bahwa dia yang duluan menyakiti.”
Tik
tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walaupun
awan mulai menangis, aku enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak percaya
dengan kenyataan yang terjadi. Kesenduan senja berhujan ini semakin menderu
ketika kudapati pesan singkat tertulis di dindingnya kemudian.
“Aku
pergi ya, kan sudah ada dia.
Semoga
dia lebih baik dalam hal menjagamu di banding aku
Semoga
ia lebih bisa menyayangimu, lebih besar dari sayangku kepadamu
Semoga
dia tak sebodoh aku. Yang rela memperjuangkanmu, tapi tak kau perdulikan.”
Di
hari itu, senja menunggu malam dengan was-was. Perasaan serupa kekhawatiran
membayang di sekujur warna jingganya. Cemas memerciki langit. Bercak-bercak
jelaga menebar di cakrawala. Sekumpulan pertanyaan dan gumaman perihal sejarah
yang dimiliki satu orang berkerlap-kerlip srupa kunang-kunang, terbang dalam
ruang mata.
Sepasang
bola mata terguncang. Sepasang retina dan pupil mengerang. Malam terlambat
datang. Senja kian muram tapi ada kesan dalam yang mirip warna-warni ditebar
sepersekian jarak dari sorot mata. Getar canggung mengusik kalbu.
Hujan sejak sore di akhir September bagai menuntun aku untuk duduk di depan
meja ini lagi, memikirkanmu lagi.
Memikirkanmu di akhir malam
yang dingin, sedingin percakapan aku dan kamu sejak memutuskan untuk hidup
tanpa ada kata “kita”. Rindu merangkak dari balik bantal. Rindu yang
kusembunyikan dan hanya kutengok ketika malam kesepian, ia bersingut di atas
kasur. Seperti tuannya, ia terkadang menyebalkan dan keras kepala. Hujan sudah
berhenti tapi dingin terus saja memeluk kaki dan ku pangku selimut sampai
menjuntai dari kursi ini. Aku sudah pernah melupakanmu dan melewati hari
seperti ini. Hari dengan rindu yang menyebalkan juga dengan hujan di dalamnya,
dengan dingin yang menggigilkan kaki ku yang lemah. Tapi hari seperti ini
selalu saja terulang kembali. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin terhanyut
dalam kesedihan saat hujan turun malam ini.
Hujan
bulan September mengajarkan ku bahwa malam yang datang dengan rindu kadang
terasa seperti de javu. Aku merindukanmu, duduk dan melarungkannya
dalam tulisan lewat aksara receh yang sendu. Sesekali menangis, sesekali
tersenyum lalu tidur dan bermimpi tentang hadirmu yang begitu singkat. Aku
lelah merindukanmu sendirian. Sejak hujan sore tadi, aku lelah bermain dengan
aksara sendu ini sendirian.
Kalau kalian kebetulan membaca tulisan ini, lalu berharap aku dan Bayu akan
mengukir sebait cerita romantis setelahnya, siap-siap lah kecewa. Karena...
hari bahagia ku yang kesekian dengannya adalah hari bahagia terakhir dengannya.
Seharusnya, dari awal aku sudah tahu; kisah ini tidak lebih dari
sekedar sosok aku yang menaruh hati pada cinta yang salah di tengah
gonjang-ganjingnya kabar bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang dia
genggam.
Jadi,
mari kita simpan saja sosok laki-laki kalem, murah senyum, manis, lembut
sekaligus ramah ini dalam kotak memori. Dan sampai jumpa, semesta memang tak
pernah benar-benar akan mendekatkan kita, ya kan? Hari itu, aku menemukan
sesuatu. Kalau boleh jujur, aku ingin bilang aku benci diriku yang terlalu
pandai menyadari ada hal penting yang hilang.
Juga, aku benci harus bilang
ini; aku telah menyadari, kalau
hari itu, sebenarnya dia sudah pergi.
Pematangsiantar, 9 Oktober
2018
02:11, berhujan
Komentar
Posting Komentar