Kamis,
23 April 2020
Aku mengenalmu secara tidak sengaja dan jatuh cinta padamu secara tiba-tiba...
Cerita ini berawal dari aku mengenal sosok dia di sebuah kedai kopi di kota ku. Kedai kopi yang memiliki sejuta kisah dan bahagia di tiap sudut ruangannya. Kedai kopi yang menyuguhi ku segudang rasa bahagia di tiap tetes kopi nya dan selalu mengajarkan ku bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan. Kedai kopi itu disebut Kopi Bahagia…
Cerita ini berawal dari aku mengenal sosok dia di sebuah kedai kopi di kota ku. Kedai kopi yang memiliki sejuta kisah dan bahagia di tiap sudut ruangannya. Kedai kopi yang menyuguhi ku segudang rasa bahagia di tiap tetes kopi nya dan selalu mengajarkan ku bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan. Kedai kopi itu disebut Kopi Bahagia…
Kisah
ini aku tuliskan saat aku sudah menjalin ikatan spesial dengan dia, orang baru
yang aku kenal di Kopi Bahagia. Mari kita flashback sejenak ke belakang, lalu
aku ceritakan tentang apa itu makna bahagia. Silahkan seduh dan nikmati kopi mu
agar cerita ini tidak terdengar seperti cerita fiktif belaka.
Berbulan-bulan
setelah aku mengalami masa-masa sulit, aku memberanikan diri untuk mau berbaur
dan bergaul dengan orang-orang sekitarku. Rasa sakit di masa lalu membuat ku
berpikir bahwa hidup ini pada akhirnya akan tersisa kau sendiri saja. Tidak ada
teman, sahabat, pacar atau rasa bahagia. Beberapa teman mungkin tidak layak
disebut teman, atau kau pikir mereka hanya mencarimu di saat mereka butuh? Hal
itu yang menganggu tidurku setiap malam dan menghantui ku dengan rasa dendam
akan teman-teman yang sudah menjelma menjadi setan alas. Bahkan seperti hidup dan
hadir di setiap helaan nafasku. Ah, mereka yang kuanggap saudara itu
kini seperti sosok Lucifer yang siap membawa ku ke liang hitam lalu mati.
Aku
menjadi anti-sosial selama hampir setahun sejak aku menamatkan kuliahku 2018
lalu. Aku bekerja dan memiliki banyak rekan. Tetapi mereka kuanggap hanya
sebatas rekan, bukan teman, apalagi sahabat. Hari-hari kulewati dengan perasaan
yang monoton. Aku rasa hidupku sudah kehilangan warna nya.
Rumah-kantor-rumah-kantor, itu itu saja. Aku bersahabat karib dengan
sepi, kadang bertengkar dengan sepi hingga berapi-api. Bersama sepi aku mempunyai
samuderaku sendiri, tubuhku telentang tanpa tenggelam di tengah sunyi. Sementara ego ku masih mempermasalahkan
persoalan kemarin. Ia masih bertanya-tanya soal kepergiannya. Hati yang sudah
melepas terus diam seribu bahasa. Mungkin hati butuh tenang.
3 tahun bukanlah waktu yang singkat sejak aku putuskan untuk
menyudahi hubungan ku dengan dia, orang yang dulunya kuanggap kekasih terbaik. Ketidakcocokan ini membuat ku hampir sakit jiwa. Sekeras apapun
aku mencoba untuk tetap menerima dan bersyukur atas semua kesalahannya, tetap
saja aku tidak bisa. Dia begitu egois hingga akupun merasa seperti bukan bagian
dari dirinya lagi. Sesekali, aku
pun juga ingin egois. Sebab menahan luka, membuatku hilang kendali akan tangis. Sesekali,
aku pun ingin marah. Sebab menahan lelah, membuat lebamku makin memerah. Sesekali
aku ingin dia mengerti. Bahwa aku juga manusia. Luka tak mungkin bisa aku lawan
semua. Aku pun butuh seseorang, sebagai sosok yang menenangkanku kala luka
tengah bertamu. — Sungguh—yang aku butuhkan
hanyalah rasa peduli. Dan rintik hujan pun tiada henti mendentingkan rindu pada hati yang masih
diselimuti kesunyian.
Tepatnya tanggal 7 Agustus 2019, Rabu di awal jam,
tanah basah sebab hujan. Aromanya, sesedap asap kopi. Sial, dalam tarikan napas
yang panjang, masih saja dia yang datang bagai bayang-bayang semu yang tak bisa
kuraih. Sebelum malam menjemput, aku dan teman-teman perempuanku memutuskan
untuk hang out atau sekedar meet up dan melepaskan rindu. Langit
malam terasa berbeda saat subuh tadi. Malam itu sangat cerah. Beberapa hari lalu Kopi Bahagia baru saja launching. Nuansa lampu temaram sangat lembut memanjakan mata. Aku
menghabiskan kopi dan menikmati canda tawa bersama temen-teman SMA ku yang
sudah lama sekali tidak bertemu. Tawa dan senyum mereka tetap sama, tidak
berubah. Hanya saja rasanya sedikit berbeda sejak terakhir kami bertemu.
Mungkin ini yang disebut menua atau menjadi dewasa?
Seseorang mengirimi ku pesan lewat facebook, dia begitu bersemangat
menanyakan keberadaan ku. Seperti habis menang lotre, dia mengajakku nongkrong.
“Odette lagi dimana?”, seperti panggilan
sayang.
“Aku lagi di Kopi Bahagia nih, Gusion.”
Kalian harus tahu, orang ini sudah lama aku
temui di facebook, dia dan aku sering sama-sama party di Mobile Legend, game yang saat itu sedang booming-booming nya. Nama nya Josua, yang kini kupanggil dengan sebutan Cian. Sosok sederhana tapi
penuh cinta yang telah mewarnai hari-hariku yang sebelumnya penuh awan kelabu.
Entah angin apa yang membawanya hingga mengirimi aku pesan lalu mengajak
bertemu. Sama sekali aku tidak pernah berpikir untuk bertemu dan berkenalan
dengan orang ini.
***
“Inbox Facebook ga bisa share lock.”
Dia menggerutu
“Ketik aja Kopi Bahagia Siantar di Google Map-mu, ntar juga dapat.”
Waktu itu sudah menunjukkan pukul
20.00 lewat. Daripada harus lelah berlama-lama negoisasi soal nomor Whatsapp dengan pria yang baru kukenal
itu, dengan berat hati kuberikan nomor ku dan berbagi lokasi. Aku tau sebenarnya dia 100% modus. Toh aku juga bisa membatasi isi pesan
ku dengannya, pikirku.
Kopi
ku sudah tinggal sepertiga, tetapi dia tak kunjung datang. Seperti biasa, aku
tak terlalu bersemangat menemui siapapun, sampai sebuah pesan whatsapp masuk…
“Aku
dan teman-teman sudah di depan. Tempat mu ini ramai sekali, seperti pesta saja.
Kurasa aku harus menahan malu untuk masuk ke tempat elit seperti ini untuk aku yang
seperti gembel.”
Aku
tertawa receh menatap layar ponsel ku dan bergegas menemui dia di luar. Benar,
dia datang dengan sangat sederhana tetapi tetap terkesan rapi dan bersih. Berbalut
kaos oblong, celana Khaki berwarna
krem dan sandal jepit bertemankan sebatang rokok di tangan kiri nya, dia
menyalamku dan kubalas dengan senyum ramah.
“Dita.”
“Josua.”
Aku menuntun dia dan teman-temannya masuk ke Kopi Bahagia, tempat
dimana semua kisah asmara penuh lika-liku ini bermula.
Sedari
awal memasuki pintu Bahagia tadi, dia tetap diam termangut dan tertunduk
menatap layar ponselnya sesekali menggoyangkan kaki. Aku menerka-nerka,
kelihatannya dia sedang asyik chattingan dengan
seorang gadis. Ya, Josua sudah memiliki gebetan. Akhir-akhir ini aku sering
melihat foto mereka berdua di story
Facebook nya.
Kami hanya berbicara sekilas. Kebanyakan aku habiskan
obrolan bersama temanku atau berbicara sedikit dengan temannya. Aku pikir pria ini
tipikal orang sombong atau cuek, sepanjang waktu dia terdiam terus
sampai aku dapati ternyata salah satu teman satu tongkronganku tadi adalah
mantan pacarnya. Ah, andai saja aku tahu ini dari awal, aku pasti mendukung dia
untuk tidak ikut gabung satu meja dengan ku dan teman-temanku. Atau, ga usah
datang sekalian. Membuat hati orang lain terluka, jelaslah bukan prinsipku, dan
ini benar-benar kusesali. Aku meminta maaf berkali-kali dan kurasa itu
membuatnya risih, terlihat jelas dari raut wajahnya.
Foto bareng pertama kita :D |
Malam
menjemput, pertemuan singkat itu kami tutup dengan foto bersama. Aku pulang
dengan perasaan biasa. Tiada hal istimewa kubawa pulang hari itu selain semilir
angin dan malam yang menusuk raga. Kembali ke rumah hanya akan mengingatkan ku lagi tentang dia yang sudah pergi. Aku merindukan kasur ku sejak pukul
18.00 tadi. Ah rasanya aku benar-benar nyaman dengan kesendirian ini.
Aku mengantuk tapi enggan pula terlelap, aku
merindu tapi tak berharap lagi ada pertemuan antara aku dan dia yang menjadi
masa lalu, yang pergi saat aku begitu sayang. Aku? Harus apa aku sekarang? Pikiranku jauh melayang-layang. Di gelap malam, kucoba merenungi setiap hal-hal yang aku inginkan, pun yang aku dapatkan. Aku hanya bisa berusaha menasehati diri sendiri, menenangkan gemuruh yang ada dalam diri. Antara egoku pun hatiku, tiada rasa benci dalam diri. Yang ada hanya rasa sepi. Dulu, aku dan dia selalu berbincang perihal kesunyian. Sekarang, aku dan kesunyian selalu berbincang perihal dia. Tak terasa, bilur-bilur air mata jatuh di pipiku. Aku terlelap lagi dalam kesedihan yang tak kunjung usai.
Dua
hari yang biasa telah berlalu, dia mengirimi ku pesan whatsapp.
“Odette,
aku minta foto yang kemarin, kaya nya bagus.”
“Tuh.”
“Thanks
ya.”
“Eh
btw maaf ya soal mantanmu kemarin hehehe. Aku benar-benar engga tau. Serius, Gusionkuu...”
“Lama-lama
kau kek par Sipiongot, betul.”
Malam
tanggal 16 Agustus 2019 dia mengirimi ku pesan lagi. Dia meminta ku untuk ikut bersama nya dalam perjalanan 17an besok bersama teman-temannya. Rasa sepi di dadaku bagai menuntun aku untuk
mengiyakan ajakannya tanpa harus memikirkan bagaimana sakitnya hati perempuan yang telah memenangkan hatinya itu ketika lelakinya pergi bersamaku.
”Ke
Binahal aja. Tempatnya ga terlalu ramai, juga tidak terlalu sepi. Pemandangannya
bagus dan tidak terlalu jauh dari kota ini.”
“Besok
aku jemput jam 10.00 pagi ya. Jangan telat, aku ga tau rumahmu.” Dia menimpali
perkataanku lalu mengakhiri obrolan.
Bermodalkan
rasa ngantuk dan lelah, paginya aku berangkat dari rumah. Dengan setelan jins
dan kaos serba hitam, aku menunggu dia datang sembari melihat anak-anak kecil
lomba balap karung di depan kantor lurah di komplek ku. 5 menit kemudian aku
melihat dia dari kejauhan mengendarai sepeda motor bebek dengan setelan kaos dan celana Khaki berwarna krem andalannya. Aku bergegas menemui nya dan
kudapati dia tersenyum sumringah dengan sedikit rasa malu.
Perjalanan
kami tempuh dua jam lebih mengendarai motor hingga sampai ke destinasi. Cuaca sangat mendukung,
matahari bersinar angkuh menunjukkan mega-meganya. Nampak jelas awan-awan putih
menyisih ke pinggiran langit. Bukit-bukit Binahal juga seolah mengisyaratkan lewat lambaian angin bahwa akan datang empat pasang mata untuk menikmati
keindahannya. Di bawah cerahnya langit, aku dan dia bertukar cerita tentang banyak hal.
"Bambank.. bambank... Kalau dikasih kesempatan dilahirkan kembali, kam mau jadi apa?"
"Jadi anak orang kaya. Hehehe"
"Hmm... Ga mau nanya balik?"
"Kalau kam mau jadi apa?"
"Jadi batu. Hehehe."
"Kok batu?-_-"
"Hidupnya enak. Ga ada beban dan ga akan diusik orang. Bambank, cita-cita mu apa?"
"Orang seperti aku ga punya cita-cita, Odette..."
Josua berbicara sangat sederhana dan berhati-hati. Dia seperti menjaga perkataan dan lisannya. Mungkin karena aku orang baru dalam lingkaran pertemanannya. Apalagi dia jelas melihat sisi strata latar belakang pendidikan yang berbeda antara aku dan dia. Satu yang kuingat hari itu, kami pergi dan pulang dalam keadaan
kurang safety. Hal yang sangat
kusayangkan untuk tidak memakai helm atau masker dan mendapati wajah kami memerah bak
kepiting rebus ditambah debu jalanan yang seenaknya bercumbu di lapisan
epidermis kulit.
Di
sore perjalanan pulang, aku tidak kuat menahan kelopak mataku yang begitu berat.
Di belakang punggungnya, aku menahan sakitnya berpura-pura untuk tetap stay on. Tak kuat lagi,
kepala ku sudah berlabuh di pundaknya yang lebar dan nyaman. Aku sudah lama
sekali tidak merasakan kehangatan seperti ini. Terlihat dari balik spion, dia
wanti-wanti mengawasi apakah aku benar-benar akan terlelap di kondisi yang
kurang kondusif seperti itu. Dia meraih tanganku menuju pinggang nya dan
waspada agar aku tidak terjatuh. Dua jam perjalanan pulang, aku habiskan dengan
bermanja-ria di pundaknya. Seperti anak kecil, aku memasang raut wajah kebingungan
saat kudapati bahwa kami sudah sampai di Siantar. Aku malu melihat
teman-temannya yang menatapku seperti “Lihatlah, Josua baru saja menidurkan
gadis yang malang itu”.
Aku heran mengapa aku bisa sedekat itu di foto ini |
Lihat, apa kau temukan gurat bahagia di wajahku? |
Aku
pulang membawa perasaan yang sedikit berbeda dari hari-hari ku biasanya. Antara
bahagia dan cemas. Cemas akan seperti apakah kelanjutan dari cerita ini
mengingat waktu itu aku benar-benar tidak ingin jatuh cinta pada dia, laki-laki
sederhana yang kutemui pertama sekali di Kopi Bahagia. Sejak hari itu juga,
komunikasi ku dengan dia mulai lancar, aku mulai mengesampingkan perasaan cemas
terhadap perempuan yang sedang memenangkan hatinya saat itu. Aku mulai bisa
merasakan dia mulai nyaman dan terbuka, sering mengirimi pap yang kadang buat ku tertawa kecil. Perjalanan hari itu mengajarkanku bahwa rasa kesepian
datang ketika kau terlalu banyak menyimpan beban yang semestinya bisa di
lepaskan. Kesepian
membuat waktu yang kau miliki seperti tak berarti, dunia ini kosong,
seakan-akan tidak ada orang yang mau mendengarkanmu, setiap orang seperti hanya
peduli pada dirinya sendiri sedangkan kau tak punya siapa-siapa untuk sekedar
berbagi cerita untuk menyembuhkan luka dan menghibur sepi. Mau sampai kapan
terus seperti ini? Josua mengajarkanku bahwa obat dari rasa sepi adalah mau berbagi cerita dan mau untuk mulai bicara. Sejauh ini, pria yang menyebutku Tondi itu masih setia mendengarkan semua masalahku. Sampai suatu hari
kami memutuskan kembali untuk bertemu. Tapi kali ini bukan di Kopi Bahagia, melainkan gereja, tempat dimana aku pertama sekali menggenggam jari-jemari nya yang justru malah membuat ku semakin dekat dengannya.
Untuk
pertama kali dalam hidupku, aku pergi mengikuti ibadah pagi di gereja HKBP
bersama seorang pria yang baru kukenal. Pria dengan perbedaan umur 2 tahun di
bawahku. Mungkin terkesan seperti “tante, dapat darimana brondong ini?” hahaha,
tapi aku selalu berpikir seperti usia ku walaupun terkadang aku sering
meledeknya dengan sebutan “berondong” dan bisa kutebak sebenarnya dia sudah
sangat gondok dan kesal. (wkwk)
“Berondong!”
“Heh!
Aku ga berondong ya.”, katanya ketus.
Aku
cuma senyum kecil dan menyengir sedang pendeta tengah kotbah.
“Coba
lihat tanganmu. Gelang mu keren-keren ya. Ke gereja pake beginian.”
Dia
diam saja dan mengulurkan tangannya. Tanpa basa-basi, aku genggam jari-jemari
nya dengan mantap dan seperti genderang, darahku mengalir dari ujung kaki ke
ujung kepala. Sepanjang ibadah, kami termangut diam saja. Seperti disihir
setan, genggaman tangan itu bak bius yang bikin candu. Hal tersebut terus
terjadi hingga kami memutuskan untuk terus ibadah bersama di gereja tua itu
setiap minggu nya.
***
“Surpriseee…
Selamat ulang tahun ya cikgu. Doa nya cepat-cepat nikah aja deh.”
Sontak
tawa teman-teman ku memenuhi ruangan di Kopi Bahagia. Lagu Jamrud –
Selamat Ulang Tahun perlahan mengecil dan mulai lenyap di sudut
ruangan itu.
“Aduhh..
Ga nyangka banget kalian bikin surprise kya gini. Terharu sumpah, huhuhu…”,
tangisku sambil memeluk Likha dan kak Rini. Beberapa teman yang lain ikut
terharu dan memberikan doa-doa di usia ku yang sudah menginjak 23 tahun itu.
“Mending
sekarang kita foto-foto aja.”, tambah bang Dika, si suara emas.
“Ajak
foto bang Siparjalang lah kak biar rame. Kebetulan dia lagi di samping meja
kita. Kapan lagi coba fotbar sama aktivis muda hits se-siantar. Hahahaha”,
timpal Biel, si paling muda yang udah kuanggap seperti adik sendiri sambil
mengedipkan sebelah matanya.
Kopi
yang seharusnya kuhabiskan seorang diri malam itu, kini telah ditemani dengan
berbagai gelas kopi teman-temanku. Malam semakin hangat ketika dia, orang yang
kutemui pertama sekali di Kopi Bahagia ini datang membawa sejuta doa di senyum
manisnya.
“Selamat
ulang tahun ya.”, Josua menyalamku
“Terimakasih
banget ya udah datang, boleh pesan. Ntar aku yang bayar hehehe...” Kebetulan Josua
membawa beberapa teman-teman nya. Suasana Bahagia saat itu benar-benar ramai. Jauh
dari perkiraan ku sebelumnya bahwa malam di hari ulang tahun ku ini akan sama
seperti malam-malam sebelumnya, penuh kelabu.
Hari
demi hari, bulan demi bulan, waktu demi waktu kami lewati bersama, berdua. Tentunya
dengan perasaan bahagia sekaligus berkecamuk di dada. Mengingat aku tidak akan
pernah tahu akan seperti apa akhir dari hubungan tanpa status ini. Mengajakku pergi
menatap indahnya senja di danau Toba setiap hari Minggu, masih saja belum bisa
menghancurkan gejolak rasa sakit yang tiap malam melolong di pikiranku. Josua benar-benar
ingin membawa ku keluar dari gelapnya rasa sakit masa laluku. Kini, aku benar-benar menikmati waktu bahagia bersamanya, menikmati pesta lampu di Festival of Light di pertengahan Oktober, karaokean di de Java, membeli beberapa sosis goreng di Imlek Fair, pergi ke bukit Senyum, ke Aek Nauli atau naik baling-baling pasar malam dan mencomot gulali merah jambu sambil melihat atraksi tong setan.
Dia,
orang yang selalu nekat menemui ku di bawah hujan sekalipun. Di dinginnya sore yang
gerimis sepulang aku bekerja. Tak pernah ku sangka, bahu nya akan selalu
menjadi tempat ternyaman yang kutemui saat dia menjemputku pulang. Walau kadang
menyebalkan, tetap saja dia adalah pria yang manis. Di balik semua kekurangan
dan kelemahannya, aku masih bisa melihat cahaya kecil yang bersinar dari
pelupuk matanya yang menandakan bahwasanya dia adalah laki-laki yang baik. Aku
pun mengajarkannya banyak hal, terkhusus bidang akademik dan karakter. Akhir-akhir
bersamaku, dia mulai menunjukkan perubahan yang baik dan positif. Aku senang
karna pada akhirnya dia mau dan serius mengurangi hobi nya mengepul asap
nikotin. Dia juga mulai terbiasa untuk tidak berbicara toxic lagi. Alasan semua
itu adalah c-i-n-t-a.
“Tidak
semua laki-laki itu sama. Kau menyalahkan semua laki-laki karena masa lalumu. Aku
mengerti deritamu, tapi aku tidak sama dengan dia.”, bisiknya perlahan sambil
memeluk ku erat, sesekali mengecup kening ku dan mulai menghapus air mataku. Semakin
erat dekapannya, semakin rasanya aku ingin malam itu tidak berakhir begitu
saja. Diiringi hujan, dia mengantarku pulang. Tapi kata-kata nya tadi membersit
di telinga ku dan terngiang-ngiang menghantui malam ku. Aku rasa aku mulai bisa
membuka diri dan menghancurkan kerasnya batu yang menutup pintu hatiku.
Dua bulan telah berlalu, sembari memupuk cinta, aku membimbing dia untuk ikut serta
ambil bagian dalam tes CPNS. Dari mulai pendaftaran, seleksi administrasi, pas
foto, bahkan bahas soal-soal tes CPNS semua nya terlewati begitu mulus tanpa
hambatan karna makin hari rasa nyamanku makin besar. Dan menurut pengakuannya
juga, dia sudah mulai mengatakan soal “Aku rasa aku suka dan tertarik sama
kamu. Aku sebenarnya ga suka kalau kamu pergi jalan sama laki-laki yang bernama
Leo itu. Aku cemburu. Aku ga suka kalau kamu pulang sendirian. Pokoknya nanti
sore aku jemput pulang kerja, nanti malam kita jalan.” Ya, dialah Josua,
laki-laki cemburuan yang emosi nya kadang belum bisa dikendalikan dan aku mengerti
itu. Lelaki yang menjemputku turun langsung dari mobil pria yang bernama Leo itu hingga akhirnya komunikasiku dengan Leo kandas begitu saja. Ada banyak masalah juga dengan pria itu, tapi dia bukan bagian dari bahagia ku, jadi kita skip saja ya tentang lelaki kaya yang perfeksionis itu.
“Selamat,
Bambank... Yeahh, akhirnya lulus tahap pertama. Hihihi.”, teriakku kegirangan. Dia
ikut senang dan bersemangat.
“Lalu,
apa selanjutnya?” dia penasaran
“Seleksi
kedua itu tes tinggi badan. Kalau dilihat-lihat, gausah diukur, tinggi badan kamu juga udah memadai ini, Bambank.”
“Oh
iya dong, jelas. 175cm gitu loh. Hahaha”, ketusnya dengan gaya songong.
“Wait, lihat Bambank. Hari seleksi nya
tanggal 18 Desember. Pas hari ulang tahun mu loh. Kebetulan kali ya ampun.”
Dengan
mata berbinar dia menjawab, “Aku ga pernah merasa istimewa soal ulang tahun,
syukur masih ada yang mengingat. Seumur hidup aku belum pernah merayakan apa
itu tiup lilin.”
“Dah,
jangan sedih ya. Tanggal 18 kita berangkat ke Medan untuk seleksinya. Senang
banget bisa pas-pasan gini sama hari ulang tahunmu.”, kataku sambil meremas
tangannya dan meyakinkan dia untuk tidak bersedih lagi.
Tepat
tanggal 18 Desember, pagi-pagi sekali dia sudah menjemput ku dari rumah dan
menghantarku terlebih dahulu ke terminal. Dia kemudian menyusul diantar oleh
bapaknya. Dari jauh gurat wajah Bapak nampak khawatir apakah putranya akan
baik-baik saja di Medan bersamaku. Aku memperkenalkan diri pada beliau dan
memberitahu padanya tujuan kami sebenarnya. Dia mengangguk yakin dan
memberangkatkan kami.
“Hati-hati
di jalan ya amang, ya inang.” Kami mengangguk dan menyalim punggung tangan
Bapak. Kemudian beliau berlalu meninggalkan kami.
Sebelum
berangkat, di bangku ruang tunggu, aku menyalakan lilin angka 21 pada blackforest ukuran kecil yang ku beli
dari toko kue tadi malam dan memberikannya pada Josua untuk ditiup. Dengan penuh
harapan aku memanjatkan doa-doa kepada Tuhan agar semua yang dicita-citakan
lelaki itu semua nya terwujud.
“Nah,
Bambank tiup lilinnya. Selamat ulang tahun ya. Jangan lupa make a wish dulu yok.”
Josua
memejamkan mata dan memegang erat blackforest
yang kuberikan. Kemudian menghembuskan lilin.
“Yeayyy.
21 tahun sudah si Bambank. Cie ciee udah makin tua. Wkwk”
“Makasih
ya, senang kali aku.”, katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Hehe
sama-sama. Yuk, bus nya sudah mau berangkat. Kita bergegas.”
Seleksi
berjalan dengan mulus. Josua membawa berita baik kalau dia berhak mengikuti
seleksi tahap ketiga, yaitu tes kompetensi dasar di jadwal mendatang. Sebelum pulang
kami menghabiskan waktu bersama-sama, seperti jalan-jalan, makan bareng di cafe
hits di Medan, lalu ditutup dengan nonton bioskop. Film hari itu memang kurang
menarik, tapi dengan adanya dia duduk di sampingku, semuanya terasa sempurna. Kami
pulang dengan perasaan bahagia walau malam itu hujan deras tengah mengguyur
kota Siantar.
***
Pada
akhir Desember, di penghujung tahun 2019 lalu, kami memutuskan untuk mengikuti
ibadah akhir tahun di gereja nya. Sepulang ibadah, seperti biasa dia membawa ku
berkeliling dan menikmati kota di malam hari. Malam itu, tak kusangka akan jadi
malam yang menyedihkan saat aku tahu ternyata dia masih menyimpan rasa pada
perempuan yang dia temui sebelum aku. Terbukti saat aku tak sengaja melihat dia
menyembunyikan nama kontak perempuan itu dari daftar viewer Whastapp story nya yang pada saat itu juga dia mengunggah
foto kami berdua. Kami berdebat dan hal itu membuatku merasa sedih. Aku meninggalkannya
di bangku taman kota sendirian, dan aku berjalan mengelilingi taman itu untuk
meredam sedikit dari rasa sedih akibat kebohongan yang dia buat. Di
kemurunganku, aku terduduk di bangku paling ujung di sudut taman. Beberapa
lelaki lewat dan menggoda ku tapi tak kuhiraukan karna aku tau resiko yang
kudapati apabila aku mencoba untuk melawan. Aku diam saja saat seorang lelaki
asing datang dan duduk di sampingku.
“Adek
sendirian aja. Mana temannya? Ga baik loh perempuan sendirian duduk tengah
malam gini di sini. Di sini banyak orang jahat. Lagian ini malam tahun baru,
kok gak kencan sama cowoknya gitu?” tanya nya dengan sopan.
“Saya
sedang tidak ingin diganggu dan tidak ingin berbicara dengan anda.”, kataku
tegas dan lelaki itu pun berlalu begitu saja.
Ponsel
ku berdering berkali-kali dan kudapati Whatsapp
ku sudah dipenuhi oleh pesannya. Merasa khawatir, aku pun kembali menemui nya
di bangku taman semula. Dia meminta maaf dan mengunggah foto itu sekali lagi
bahkan di storygram nya juga. Aku heran. Dalam hati aku mulai merasa rendah
diri. Dia siapaku? Gak sebaiknya aku cemburu dan bodoh seperti ini. Toh akan
baik-baik saja kalau dia memang masih punya rasa sama perempuan itu. Aku merasa
malu. Tapi dia tetap meyakinkan ku soal perasaannya.
Tahun
berganti, hubungan kami semakin dekat, kami menghabiskan waktu seperti biasa di
taman kota. Menikmati akhir pekan di pinggiran danau Toba, gereja bareng, atau sesekali ngopi dan bercengkrama di Kopi Bahagia. Waktu-waktu yang bahagia
kulewati bersamanya. Semakin aku rasa bahagia, semakin aku justru merasa sedih
karna harus terima kenyataan kalau dia memilih untuk tidak mengambil tes CPNS
itu, merantau ke Batam dan bekerja di salah satu PT di sana. Dan sebelum
perpisahan itu terjadi, aku sudah merencanakan banyak hal dengannya di sisa
satu hari bersama nya.
Sebulan
yang bahagia berlalu, tepat di tanggal 2 Februari kami memutuskan tetap pergi
ke Medan tapi bukan untuk mengikuti seleksi SKD. Bersama kedua temannya, mengendarai
mobil, kami menghabiskan waktu sama-sama di kota Medan. Seperti biasa, akhir
perjalanan kami tutup dengan menonton bioskop. Lagi-lagi film ini tidak
semenarik saat aku dan Josua menonton salah satu film terbaik di Cinepolis Siantar
beberapa bulan yang lalu. Tapi tetap saja, ada dia di sampingku menggenggam
jariku itu lebih dari cukup.
Banyak
hal yang terjadi hari itu, kami tiba di Siantar pukul 18.00 kurang. Hujan perlahan
turun. Baju kami basah kuyup. Untung di dalam ransel masih terlipat rapi jaket
yang hangat, lekas saja kami menggantinya. Sepulang makan nasi goreng tempat langganan, aku menemani dia ke
salah satu tukang pangkas. Hujan semakin deras, tapi aku harus berpura-pura
tegar mengikhlaskan dia pergi ke tempat yang jauh, beda pulau :’) di H-2 ku. Aku
menatap langit bersedih mengingat aku akan sendirian lagi. Sumpah, rasa sesak
di dada ku kembali bergejolak seperti saat aku belum bertemu dia dulu. Pertemuan
yang beberapa bulan itu kini harus ditutup dengan perpisahan yang menyedihkan
seperti ini. Ya Tuhan, andai aku bisa memilih, aku tidak ingin bertemu
dengannya apabila rasa sakitnya seperti ini harus melepaskan dia :’)
“Ternyata
pengurusan keberangkatannya di kantor Walikota nya ditunda sampai besok. Lagian
ini hari Minggu, dimana-mana instansi pasti tutuplah.”, katanya murung.
“Yah,
padahal kita udah capek-capek ngejar waktu sampai ngebut kya tadi tau-tau nya
engga jadi. Duh, aku jadi merasa sedih banget karna tadi engga ikut ujian.”,
aku menimpali perkataannya dengan perasaan yang sangat sedih.
“Aku
minta maaf ya. Gara-gara aku semuanya jadi gini. Aku udah ngecewain kam.”
“Enggak
apa-apa. Sekarang kita kemana? Mumpung masih jam 6 sore. Dua hari lagi kam
berangkat.”, kataku memasang raut wajah yang tegar. Aku tidak mengijinkan dia
tau bagaimana sebenarnya perasaanku saat itu. Aku selalu memberikan kesan wajah
yang bahagia bahkan saat mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini dan
mengijinkan dia pergi untuk mengejar cita-citanya di negeri orang. Kami memutuskan
menonton bioskop lagi dan menerobos hujan saat itu, di boncengan aku memeluknya dengan erat seolah hari itu bukan hari terakhir kami akan sama-sama.
Besoknya,
dia menemuiku ke kantor pas jam makan siang. Membawa ku beberapa hadiah dan
coklat :’) sontak aku terharu saat dia mengatakan “Maaf tanggal 14 Februari
nanti aku ga bisa merayakan valentine sama-sama kam di sini. Jadi, hari ini lah
kuberikan semuanya sama kam. Maaf cuma bisa memberikan ini.” Aku menatapnya
dengan mata berkaca-kaca berharap Tuhan memberikan waktu satu hari lagi untuk
aku puas bergandengan tangan dengannya. Aku melihatnya berlalu di hadapanku
sambil memeluk erat coklat dan hadiah sederhana yang dia berikan. Tak terasa
air mataku mengalir membasahi pipiku. Lagi-lagi aku harus bersikap tegar.
Sekarang,
semuanya bagaikan mimpi. Di penghujung malam, tepat pukul 10 tanggal 4 Februari, aku menemuinya
secara diam-diam ke Depnaker. Membawa beberapa makanan dalam kantong plastik
dan air minum serta minyak kayu putih. Tangannya menyentuhku perlahan, bisa
kurasakan embusan napas hangatnya. Sedetik kemudian, kami telah larut dalam
pelukan erat penuh haru, tepat di pintu gerbang kantor Depnaker.
“Sudahlah
sayang, jangan sedih ya. Kan kita masih bisa chattan, video call atau telponan.
Pokoknya nanti pas aku udah di sana, kita harus video call-an setiap hari.”
Josua mengusap pipiku perlahan dan menatapku penuh cinta. Senyum manisnya
terkembang.
“Janji
ya.”, kata ku dengan mata berkaca-kaca.
“iya, janji. Sudah
malam, aku gamau kam kenapa-kenapa di tengah jalan. Ayo sekarang pulang, pesan
gojeknya. Aku harus masuk, nanti ketahuan sama kadis nya aku bisa kena marah
loh.”, pintanya dengan sangat.
“Tapi
aku... masih mau di sini.”, aku mulai bersedih.
Dia
langsung meraihku mendekat. Di balik gerbang, daun-daun yang berguguran dan
angin semilir lembut menjadi saksi saat dia mengecup bibirku sebagai tanda
perpisahan.
Aku
berlalu dan dia melambaikan tangan dari kejauhan. Aku masih terus memandang nya
sampai lenyap di perjalananku. Aku pulang dengan perasaan sedih dan
memikirkannya sepanjang malam. Malam yang harus kulewati dengan rasa sesak di
dada saat aku tahu bahwa untuk seterusnya aku akan sendirian. Sore yang sepi
saat aku menikmati kopi Bahagia sendirian tanpa dirinya lagi. Semua jalanan di kota
Siantar terasa memaksa ku untuk terus semakin mengingat tentang dirinya, membangkitkan memori mengelilingi kota itu berdua bersamanya. Ketika
hujan datang, bayangannya pun hadir begitu saja. Andai waktu bisa diulang, aku
ingin lebih lama lagi bersamanya di kota ini.
“Aku berangkat
dulu ya. Selamat menabung celengan rindu. Aku pasti akan sangat merindukanmu. 😘🤗🤗🥺😢”
Petualangan cinta baru saja dimulai. Aku siap menghadapi berbagai rintangan LDR. Aku dan dia juga sudah merencanakan untuk beberapa waktu dimana kami bisa bertemu dan kembali bergandengan tangan.
Karena bahagia yang sesungguhnya adalah soal rasa mengikhlaskan.
Batam
– Siantar, 864km
Komentar
Posting Komentar