WAKTU BAHAGIA


Kamis, 23 April 2020

Aku mengenalmu secara tidak sengaja dan jatuh cinta padamu secara tiba-tiba...

Cerita ini berawal dari aku mengenal sosok dia di sebuah kedai kopi di kota ku. Kedai kopi yang memiliki sejuta kisah dan bahagia di tiap sudut ruangannya. Kedai kopi yang menyuguhi ku segudang rasa bahagia di tiap tetes kopi nya dan selalu mengajarkan ku bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan. Kedai kopi itu disebut Kopi Bahagia…
Kisah ini aku tuliskan saat aku sudah menjalin ikatan spesial dengan dia, orang baru yang aku kenal di Kopi Bahagia. Mari kita flashback sejenak ke belakang, lalu aku ceritakan tentang apa itu makna bahagia. Silahkan seduh dan nikmati kopi mu agar cerita ini tidak terdengar seperti cerita fiktif belaka.


Berbulan-bulan setelah aku mengalami masa-masa sulit, aku memberanikan diri untuk mau berbaur dan bergaul dengan orang-orang sekitarku. Rasa sakit di masa lalu membuat ku berpikir bahwa hidup ini pada akhirnya akan tersisa kau sendiri saja. Tidak ada teman, sahabat, pacar atau rasa bahagia. Beberapa teman mungkin tidak layak disebut teman, atau kau pikir mereka hanya mencarimu di saat mereka butuh? Hal itu yang menganggu tidurku setiap malam dan menghantui ku dengan rasa dendam akan teman-teman yang sudah menjelma menjadi setan alas. Bahkan seperti hidup dan hadir di setiap helaan nafasku. Ah, mereka yang kuanggap saudara itu kini seperti sosok Lucifer yang siap membawa ku ke liang hitam lalu mati.
Aku menjadi anti-sosial selama hampir setahun sejak aku menamatkan kuliahku 2018 lalu. Aku bekerja dan memiliki banyak rekan. Tetapi mereka kuanggap hanya sebatas rekan, bukan teman, apalagi sahabat. Hari-hari kulewati dengan perasaan yang monoton. Aku rasa hidupku sudah kehilangan warna nya. Rumah-kantor-rumah-kantor, itu itu saja. Aku bersahabat karib dengan sepi, kadang bertengkar dengan sepi hingga berapi-api. Bersama sepi aku mempunyai samuderaku sendiri, tubuhku telentang tanpa tenggelam di tengah sunyi. Sementara ego ku masih mempermasalahkan persoalan kemarin. Ia masih bertanya-tanya soal kepergiannya. Hati yang sudah melepas terus diam seribu bahasa. Mungkin hati butuh tenang. 
3 tahun bukanlah waktu yang singkat sejak aku putuskan untuk menyudahi hubungan ku dengan dia, orang yang dulunya kuanggap kekasih terbaik. Ketidakcocokan ini membuat ku hampir sakit jiwa. Sekeras apapun aku mencoba untuk tetap menerima dan bersyukur atas semua kesalahannya, tetap saja aku tidak bisa. Dia begitu egois hingga akupun merasa seperti bukan bagian dari dirinya lagi. Sesekali, aku pun juga ingin egois. Sebab menahan luka, membuatku hilang kendali akan tangis. Sesekali, aku pun ingin marah. Sebab menahan lelah, membuat lebamku makin memerah. Sesekali aku ingin dia mengerti. Bahwa aku juga manusia. Luka tak mungkin bisa aku lawan semua. Aku pun butuh seseorang, sebagai sosok yang menenangkanku kala luka tengah bertamu. —  Sungguh—yang aku butuhkan hanyalah rasa peduli. Dan rintik hujan pun tiada henti mendentingkan rindu pada hati yang masih diselimuti kesunyian.
Tepatnya tanggal 7 Agustus 2019, Rabu di awal jam, tanah basah sebab hujan. Aromanya, sesedap asap kopi. Sial, dalam tarikan napas yang panjang, masih saja dia yang datang bagai bayang-bayang semu yang tak bisa kuraih. Sebelum malam menjemput, aku dan teman-teman perempuanku memutuskan untuk hang out atau sekedar meet up­ dan melepaskan rindu. Langit malam terasa berbeda saat subuh tadi. Malam itu sangat cerah. Beberapa hari lalu Kopi Bahagia baru saja launching. Nuansa lampu temaram sangat lembut memanjakan mata. Aku menghabiskan kopi dan menikmati canda tawa bersama temen-teman SMA ku yang sudah lama sekali tidak bertemu. Tawa dan senyum mereka tetap sama, tidak berubah. Hanya saja rasanya sedikit berbeda sejak terakhir kami bertemu. Mungkin ini yang disebut menua atau menjadi dewasa?
Seseorang mengirimi ku pesan lewat facebook, dia begitu bersemangat menanyakan keberadaan ku. Seperti habis menang lotre, dia mengajakku nongkrong.
“Odette lagi dimana?”, seperti panggilan sayang.
“Aku lagi di Kopi Bahagia nih, Gusion.”
Kalian harus tahu, orang ini sudah lama aku temui di facebook, dia dan aku sering sama-sama party di Mobile Legend, game yang saat itu sedang booming-booming nya. Nama nya Josua, yang kini kupanggil dengan sebutan Cian. Sosok sederhana tapi penuh cinta yang telah mewarnai hari-hariku yang sebelumnya penuh awan kelabu. Entah angin apa yang membawanya hingga mengirimi aku pesan lalu mengajak bertemu. Sama sekali aku tidak pernah berpikir untuk bertemu dan berkenalan dengan orang ini.
***
“Inbox Facebook ga bisa share lock.” Dia menggerutu
“Ketik aja Kopi Bahagia Siantar di Google Map-mu, ntar juga dapat.”
Waktu itu sudah menunjukkan pukul 20.00 lewat. Daripada harus lelah berlama-lama negoisasi soal nomor Whatsapp dengan pria yang baru kukenal itu, dengan berat hati kuberikan nomor ku dan berbagi lokasi. Aku tau sebenarnya dia 100%  modus. Toh aku juga bisa membatasi isi pesan ku dengannya, pikirku.
Kopi ku sudah tinggal sepertiga, tetapi dia tak kunjung datang. Seperti biasa, aku tak terlalu bersemangat menemui siapapun, sampai sebuah pesan whatsapp masuk…
“Aku dan teman-teman sudah di depan. Tempat mu ini ramai sekali, seperti pesta saja. Kurasa aku harus menahan malu untuk masuk ke tempat elit seperti ini untuk aku yang seperti gembel.”
Aku tertawa receh menatap layar ponsel ku dan bergegas menemui dia di luar. Benar, dia datang dengan sangat sederhana tetapi tetap terkesan rapi dan bersih. Berbalut kaos oblong, celana Khaki berwarna krem dan sandal jepit bertemankan sebatang rokok di tangan kiri nya, dia menyalamku dan kubalas dengan senyum ramah.
“Dita.”
“Josua.”
Aku menuntun dia dan teman-temannya masuk ke Kopi Bahagia, tempat dimana semua kisah asmara penuh lika-liku ini bermula.
Sedari awal memasuki pintu Bahagia tadi, dia tetap diam termangut dan tertunduk menatap layar ponselnya sesekali menggoyangkan kaki. Aku menerka-nerka, kelihatannya dia sedang asyik chattingan dengan seorang gadis. Ya, Josua sudah memiliki gebetan. Akhir-akhir ini aku sering melihat foto mereka berdua di story Facebook nya. 
Kami hanya berbicara sekilas. Kebanyakan aku habiskan obrolan bersama temanku atau berbicara sedikit dengan temannya. Aku pikir pria ini tipikal orang sombong atau cuek, sepanjang waktu dia terdiam terus sampai aku dapati ternyata salah satu teman satu tongkronganku tadi adalah mantan pacarnya. Ah, andai saja aku tahu ini dari awal, aku pasti mendukung dia untuk tidak ikut gabung satu meja dengan ku dan teman-temanku. Atau, ga usah datang sekalian. Membuat hati orang lain terluka, jelaslah bukan prinsipku, dan ini benar-benar kusesali. Aku meminta maaf berkali-kali dan kurasa itu membuatnya risih, terlihat jelas dari raut wajahnya.

Foto bareng pertama kita :D

Malam menjemput, pertemuan singkat itu kami tutup dengan foto bersama. Aku pulang dengan perasaan biasa. Tiada hal istimewa kubawa pulang hari itu selain semilir angin dan malam yang menusuk raga. Kembali ke rumah hanya akan mengingatkan ku lagi tentang dia yang sudah pergi. Aku merindukan kasur ku sejak pukul 18.00 tadi. Ah rasanya aku benar-benar nyaman dengan kesendirian ini. 
Aku mengantuk tapi enggan pula terlelap, aku merindu tapi tak berharap lagi ada pertemuan antara aku dan dia yang menjadi masa lalu, yang pergi saat aku begitu sayang. Aku? Harus apa aku sekarang? Pikiranku jauh melayang-layang. Di gelap malam, kucoba merenungi setiap hal-hal yang aku inginkan, pun yang aku dapatkan. Aku hanya bisa berusaha menasehati diri sendiri, menenangkan gemuruh yang ada dalam diri. Antara egoku pun hatiku, tiada rasa benci dalam diri. Yang ada hanya rasa sepi. Dulu, aku dan dia selalu berbincang perihal kesunyian. Sekarang, aku dan kesunyian selalu berbincang perihal dia. Tak terasa, bilur-bilur air mata jatuh di pipiku. Aku terlelap lagi dalam kesedihan yang tak kunjung usai.
Dua hari yang biasa telah berlalu, dia mengirimi ku pesan whatsapp.
“Odette, aku minta foto yang kemarin, kaya nya bagus.”
“Tuh.”
“Thanks ya.”
“Eh btw maaf ya soal mantanmu kemarin hehehe. Aku benar-benar engga tau. Serius, Gusionkuu...”
“Lama-lama kau kek par Sipiongot, betul.”
Malam tanggal 16 Agustus 2019 dia mengirimi ku pesan lagi. Dia meminta ku untuk ikut bersama nya dalam perjalanan 17an besok bersama teman-temannya. Rasa sepi di dadaku bagai menuntun aku untuk mengiyakan ajakannya tanpa harus memikirkan bagaimana sakitnya hati perempuan yang telah memenangkan hatinya itu ketika lelakinya pergi bersamaku.
”Ke Binahal aja. Tempatnya ga terlalu ramai, juga tidak terlalu sepi. Pemandangannya bagus dan tidak terlalu jauh dari kota ini.”
“Besok aku jemput jam 10.00 pagi ya. Jangan telat, aku ga tau rumahmu.” Dia menimpali perkataanku lalu mengakhiri obrolan.
Bermodalkan rasa ngantuk dan lelah, paginya aku berangkat dari rumah. Dengan setelan jins dan kaos serba hitam, aku menunggu dia datang sembari melihat anak-anak kecil lomba balap karung di depan kantor lurah di komplek ku. 5 menit kemudian aku melihat dia dari kejauhan mengendarai sepeda motor bebek dengan setelan kaos dan celana Khaki­ berwarna krem andalannya. Aku bergegas menemui nya dan kudapati dia tersenyum sumringah dengan sedikit rasa malu.
Perjalanan kami tempuh dua jam lebih mengendarai motor hingga sampai ke destinasi. Cuaca sangat mendukung, matahari bersinar angkuh menunjukkan mega-meganya. Nampak jelas awan-awan putih menyisih ke pinggiran langit. Bukit-bukit Binahal juga seolah mengisyaratkan lewat lambaian angin bahwa akan datang empat pasang mata untuk menikmati keindahannya. Di bawah cerahnya langit, aku dan dia bertukar cerita tentang banyak hal.
"Bambank.. bambank... Kalau dikasih kesempatan dilahirkan kembali, kam mau jadi apa?"
"Jadi anak orang kaya. Hehehe"
"Hmm... Ga mau nanya balik?"
"Kalau kam mau jadi apa?"
"Jadi batu. Hehehe."
"Kok batu?-_-"
"Hidupnya enak. Ga ada beban dan ga akan diusik orang. Bambank, cita-cita mu apa?"
"Orang seperti aku ga punya cita-cita, Odette..."
Josua berbicara sangat sederhana dan berhati-hati. Dia seperti menjaga perkataan dan lisannya. Mungkin karena aku orang baru dalam lingkaran pertemanannya. Apalagi dia jelas melihat sisi strata latar belakang pendidikan yang berbeda antara aku dan dia. Satu yang kuingat hari itu, kami pergi dan pulang dalam keadaan kurang safety. Hal yang sangat kusayangkan untuk tidak memakai helm atau masker dan mendapati wajah kami memerah bak kepiting rebus ditambah debu jalanan yang seenaknya bercumbu di lapisan epidermis kulit.


Di sore perjalanan pulang, aku tidak kuat menahan kelopak mataku yang begitu berat. Di belakang punggungnya, aku menahan sakitnya berpura-pura untuk tetap stay on­. Tak kuat lagi, kepala ku sudah berlabuh di pundaknya yang lebar dan nyaman. Aku sudah lama sekali tidak merasakan kehangatan seperti ini. Terlihat dari balik spion, dia wanti-wanti mengawasi apakah aku benar-benar akan terlelap di kondisi yang kurang kondusif seperti itu. Dia meraih tanganku menuju pinggang nya dan waspada agar aku tidak terjatuh. Dua jam perjalanan pulang, aku habiskan dengan bermanja-ria di pundaknya. Seperti anak kecil, aku memasang raut wajah kebingungan saat kudapati bahwa kami sudah sampai di Siantar. Aku malu melihat teman-temannya yang menatapku seperti “Lihatlah, Josua baru saja menidurkan gadis yang malang itu”.

Aku heran mengapa aku bisa sedekat itu di foto ini

Lihat, apa kau temukan gurat bahagia di wajahku?

Aku pulang membawa perasaan yang sedikit berbeda dari hari-hari ku biasanya. Antara bahagia dan cemas. Cemas akan seperti apakah kelanjutan dari cerita ini mengingat waktu itu aku benar-benar tidak ingin jatuh cinta pada dia, laki-laki sederhana yang kutemui pertama sekali di Kopi Bahagia. Sejak hari itu juga, komunikasi ku dengan dia mulai lancar, aku mulai mengesampingkan perasaan cemas terhadap perempuan yang sedang memenangkan hatinya saat itu. Aku mulai bisa merasakan dia mulai nyaman dan terbuka, sering mengirimi pap yang kadang buat ku tertawa kecil. Perjalanan hari itu mengajarkanku bahwa rasa kesepian datang ketika kau terlalu banyak menyimpan beban yang semestinya bisa di lepaskan. Kesepian membuat waktu yang kau miliki seperti tak berarti, dunia ini kosong, seakan-akan tidak ada orang yang mau mendengarkanmu, setiap orang seperti hanya peduli pada dirinya sendiri sedangkan kau tak punya siapa-siapa untuk sekedar berbagi cerita untuk menyembuhkan luka dan menghibur sepi. Mau sampai kapan terus seperti ini? Josua mengajarkanku bahwa obat dari rasa sepi adalah mau berbagi cerita dan mau untuk mulai bicara. Sejauh ini, pria yang menyebutku Tondi itu masih setia mendengarkan semua masalahku. Sampai suatu hari kami memutuskan kembali untuk bertemu. Tapi kali ini bukan di Kopi Bahagia, melainkan gereja, tempat dimana aku pertama sekali menggenggam jari-jemari nya yang justru malah membuat ku semakin dekat dengannya.
Untuk pertama kali dalam hidupku, aku pergi mengikuti ibadah pagi di gereja HKBP bersama seorang pria yang baru kukenal. Pria dengan perbedaan umur 2 tahun di bawahku. Mungkin terkesan seperti “tante, dapat darimana brondong ini?” hahaha, tapi aku selalu berpikir seperti usia ku walaupun terkadang aku sering meledeknya dengan sebutan “berondong” dan bisa kutebak sebenarnya dia sudah sangat gondok dan kesal. (wkwk)
“Berondong!”
“Heh! Aku ga berondong ya.”, katanya ketus.
Aku cuma senyum kecil dan menyengir sedang pendeta tengah kotbah.
“Coba lihat tanganmu. Gelang mu keren-keren ya. Ke gereja pake beginian.”
Dia diam saja dan mengulurkan tangannya. Tanpa basa-basi, aku genggam jari-jemari nya dengan mantap dan seperti genderang, darahku mengalir dari ujung kaki ke ujung kepala. Sepanjang ibadah, kami termangut diam saja. Seperti disihir setan, genggaman tangan itu bak bius yang bikin candu. Hal tersebut terus terjadi hingga kami memutuskan untuk terus ibadah bersama di gereja tua itu setiap minggu nya.
***
“Surpriseee… Selamat ulang tahun ya cikgu. Doa nya cepat-cepat nikah aja deh.”
Sontak tawa teman-teman ku memenuhi ruangan di Kopi Bahagia. Lagu Jamrud – Selamat Ulang Tahun perlahan mengecil dan mulai lenyap di sudut ruangan itu.
“Aduhh.. Ga nyangka banget kalian bikin surprise kya gini. Terharu sumpah, huhuhu…”, tangisku sambil memeluk Likha dan kak Rini. Beberapa teman yang lain ikut terharu dan memberikan doa-doa di usia ku yang sudah menginjak 23 tahun itu.
“Mending sekarang kita foto-foto aja.”, tambah bang Dika, si suara emas.
“Ajak foto bang Siparjalang lah kak biar rame. Kebetulan dia lagi di samping meja kita. Kapan lagi coba fotbar sama aktivis muda hits se-siantar. Hahahaha”, timpal Biel, si paling muda yang udah kuanggap seperti adik sendiri sambil mengedipkan sebelah matanya.
Kopi yang seharusnya kuhabiskan seorang diri malam itu, kini telah ditemani dengan berbagai gelas kopi teman-temanku. Malam semakin hangat ketika dia, orang yang kutemui pertama sekali di Kopi Bahagia ini datang membawa sejuta doa di senyum manisnya.
“Selamat ulang tahun ya.”, Josua menyalamku
“Terimakasih banget ya udah datang, boleh pesan. Ntar aku yang bayar hehehe...” Kebetulan Josua membawa beberapa teman-teman nya. Suasana Bahagia saat itu benar-benar ramai. Jauh dari perkiraan ku sebelumnya bahwa malam di hari ulang tahun ku ini akan sama seperti malam-malam sebelumnya, penuh kelabu.


Hari demi hari, bulan demi bulan, waktu demi waktu kami lewati bersama, berdua. Tentunya dengan perasaan bahagia sekaligus berkecamuk di dada. Mengingat aku tidak akan pernah tahu akan seperti apa akhir dari hubungan tanpa status ini. Mengajakku pergi menatap indahnya senja di danau Toba setiap hari Minggu, masih saja belum bisa menghancurkan gejolak rasa sakit yang tiap malam melolong di pikiranku. Josua benar-benar ingin membawa ku keluar dari gelapnya rasa sakit masa laluku. Kini, aku benar-benar menikmati waktu bahagia bersamanya, menikmati pesta lampu di Festival of Light di pertengahan Oktober, karaokean di de Java, membeli beberapa sosis goreng di Imlek Fair, pergi ke bukit Senyum, ke Aek Nauli atau naik baling-baling pasar malam dan mencomot gulali merah jambu sambil melihat atraksi tong setan.
Dia, orang yang selalu nekat menemui ku di bawah hujan sekalipun. Di dinginnya sore yang gerimis sepulang aku bekerja. Tak pernah ku sangka, bahu nya akan selalu menjadi tempat ternyaman yang kutemui saat dia menjemputku pulang. Walau kadang menyebalkan, tetap saja dia adalah pria yang manis. Di balik semua kekurangan dan kelemahannya, aku masih bisa melihat cahaya kecil yang bersinar dari pelupuk matanya yang menandakan bahwasanya dia adalah laki-laki yang baik. Aku pun mengajarkannya banyak hal, terkhusus bidang akademik dan karakter. Akhir-akhir bersamaku, dia mulai menunjukkan perubahan yang baik dan positif. Aku senang karna pada akhirnya dia mau dan serius mengurangi hobi nya mengepul asap nikotin. Dia juga mulai terbiasa untuk tidak berbicara toxic lagi. Alasan semua itu adalah c-i-n-t-a.
“Tidak semua laki-laki itu sama. Kau menyalahkan semua laki-laki karena masa lalumu. Aku mengerti deritamu, tapi aku tidak sama dengan dia.”, bisiknya perlahan sambil memeluk ku erat, sesekali mengecup kening ku dan mulai menghapus air mataku. Semakin erat dekapannya, semakin rasanya aku ingin malam itu tidak berakhir begitu saja. Diiringi hujan, dia mengantarku pulang. Tapi kata-kata nya tadi membersit di telinga ku dan terngiang-ngiang menghantui malam ku. Aku rasa aku mulai bisa membuka diri dan menghancurkan kerasnya batu yang menutup pintu hatiku.  
Dua bulan telah berlalu, sembari memupuk cinta, aku membimbing dia untuk ikut serta ambil bagian dalam tes CPNS. Dari mulai pendaftaran, seleksi administrasi, pas foto, bahkan bahas soal-soal tes CPNS semua nya terlewati begitu mulus tanpa hambatan karna makin hari rasa nyamanku makin besar. Dan menurut pengakuannya juga, dia sudah mulai mengatakan soal “Aku rasa aku suka dan tertarik sama kamu. Aku sebenarnya ga suka kalau kamu pergi jalan sama laki-laki yang bernama Leo itu. Aku cemburu. Aku ga suka kalau kamu pulang sendirian. Pokoknya nanti sore aku jemput pulang kerja, nanti malam kita jalan.” Ya, dialah Josua, laki-laki cemburuan yang emosi nya kadang belum bisa dikendalikan dan aku mengerti itu. Lelaki yang menjemputku turun langsung dari mobil pria yang bernama Leo itu hingga akhirnya komunikasiku dengan Leo kandas begitu saja. Ada banyak masalah juga dengan pria itu, tapi dia bukan bagian dari bahagia ku, jadi kita skip saja ya tentang lelaki kaya yang perfeksionis itu.
“Selamat, Bambank... Yeahh, akhirnya lulus tahap pertama. Hihihi.”, teriakku kegirangan. Dia ikut senang dan bersemangat.
“Lalu, apa selanjutnya?” dia penasaran
“Seleksi kedua itu tes tinggi badan. Kalau dilihat-lihat, gausah diukur, tinggi badan kamu juga udah memadai ini, Bambank.”
“Oh iya dong, jelas. 175cm gitu loh. Hahaha”, ketusnya dengan gaya songong.
Wait, lihat Bambank. Hari seleksi nya tanggal 18 Desember. Pas hari ulang tahun mu loh. Kebetulan kali ya ampun.”
Dengan mata berbinar dia menjawab, “Aku ga pernah merasa istimewa soal ulang tahun, syukur masih ada yang mengingat. Seumur hidup aku belum pernah merayakan apa itu tiup lilin.”
“Dah, jangan sedih ya. Tanggal 18 kita berangkat ke Medan untuk seleksinya. Senang banget bisa pas-pasan gini sama hari ulang tahunmu.”, kataku sambil meremas tangannya dan meyakinkan dia untuk tidak bersedih lagi.
Tepat tanggal 18 Desember, pagi-pagi sekali dia sudah menjemput ku dari rumah dan menghantarku terlebih dahulu ke terminal. Dia kemudian menyusul diantar oleh bapaknya. Dari jauh gurat wajah Bapak nampak khawatir apakah putranya akan baik-baik saja di Medan bersamaku. Aku memperkenalkan diri pada beliau dan memberitahu padanya tujuan kami sebenarnya. Dia mengangguk yakin dan memberangkatkan kami.
“Hati-hati di jalan ya amang, ya inang.” Kami mengangguk dan menyalim punggung tangan Bapak. Kemudian beliau berlalu meninggalkan kami.
Sebelum berangkat, di bangku ruang tunggu, aku menyalakan lilin angka 21 pada blackforest ukuran kecil yang ku beli dari toko kue tadi malam dan memberikannya pada Josua untuk ditiup. Dengan penuh harapan aku memanjatkan doa-doa kepada Tuhan agar semua yang dicita-citakan lelaki itu semua nya terwujud.
“Nah, Bambank tiup lilinnya. Selamat ulang tahun ya. Jangan lupa make a wish dulu yok.”
Josua memejamkan mata dan memegang erat blackforest yang kuberikan. Kemudian menghembuskan lilin.
“Yeayyy. 21 tahun sudah si Bambank. Cie ciee udah makin tua. Wkwk”
“Makasih ya, senang kali aku.”, katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Hehe sama-sama. Yuk, bus nya sudah mau berangkat. Kita bergegas.”
Seleksi berjalan dengan mulus. Josua membawa berita baik kalau dia berhak mengikuti seleksi tahap ketiga, yaitu tes kompetensi dasar di jadwal mendatang. Sebelum pulang kami menghabiskan waktu bersama-sama, seperti jalan-jalan, makan bareng di cafe hits di Medan, lalu ditutup dengan nonton bioskop. Film hari itu memang kurang menarik, tapi dengan adanya dia duduk di sampingku, semuanya terasa sempurna. Kami pulang dengan perasaan bahagia walau malam itu hujan deras tengah mengguyur kota Siantar.
***
Pada akhir Desember, di penghujung tahun 2019 lalu, kami memutuskan untuk mengikuti ibadah akhir tahun di gereja nya. Sepulang ibadah, seperti biasa dia membawa ku berkeliling dan menikmati kota di malam hari. Malam itu, tak kusangka akan jadi malam yang menyedihkan saat aku tahu ternyata dia masih menyimpan rasa pada perempuan yang dia temui sebelum aku. Terbukti saat aku tak sengaja melihat dia menyembunyikan nama kontak perempuan itu dari daftar viewer Whastapp story nya yang pada saat itu juga dia mengunggah foto kami berdua. Kami berdebat dan hal itu membuatku merasa sedih. Aku meninggalkannya di bangku taman kota sendirian, dan aku berjalan mengelilingi taman itu untuk meredam sedikit dari rasa sedih akibat kebohongan yang dia buat. Di kemurunganku, aku terduduk di bangku paling ujung di sudut taman. Beberapa lelaki lewat dan menggoda ku tapi tak kuhiraukan karna aku tau resiko yang kudapati apabila aku mencoba untuk melawan. Aku diam saja saat seorang lelaki asing datang dan duduk di sampingku.
“Adek sendirian aja. Mana temannya? Ga baik loh perempuan sendirian duduk tengah malam gini di sini. Di sini banyak orang jahat. Lagian ini malam tahun baru, kok gak kencan sama cowoknya gitu?” tanya nya dengan sopan.
“Saya sedang tidak ingin diganggu dan tidak ingin berbicara dengan anda.”, kataku tegas dan lelaki itu pun berlalu begitu saja.
Ponsel ku berdering berkali-kali dan kudapati Whatsapp ku sudah dipenuhi oleh pesannya. Merasa khawatir, aku pun kembali menemui nya di bangku taman semula. Dia meminta maaf dan mengunggah foto itu sekali lagi bahkan di storygram nya juga. Aku heran. Dalam hati aku mulai merasa rendah diri. Dia siapaku? Gak sebaiknya aku cemburu dan bodoh seperti ini. Toh akan baik-baik saja kalau dia memang masih punya rasa sama perempuan itu. Aku merasa malu. Tapi dia tetap meyakinkan ku soal perasaannya.
Tahun berganti, hubungan kami semakin dekat, kami menghabiskan waktu seperti biasa di taman kota. Menikmati akhir pekan di pinggiran danau Toba, gereja bareng, atau sesekali ngopi dan bercengkrama di Kopi Bahagia. Waktu-waktu yang bahagia kulewati bersamanya. Semakin aku rasa bahagia, semakin aku justru merasa sedih karna harus terima kenyataan kalau dia memilih untuk tidak mengambil tes CPNS itu, merantau ke Batam dan bekerja di salah satu PT di sana. Dan sebelum perpisahan itu terjadi, aku sudah merencanakan banyak hal dengannya di sisa satu hari bersama nya.
Sebulan yang bahagia berlalu, tepat di tanggal 2 Februari kami memutuskan tetap pergi ke Medan tapi bukan untuk mengikuti seleksi SKD. Bersama kedua temannya, mengendarai mobil, kami menghabiskan waktu sama-sama di kota Medan. Seperti biasa, akhir perjalanan kami tutup dengan menonton bioskop. Lagi-lagi film ini tidak semenarik saat aku dan Josua menonton salah satu film terbaik di Cinepolis Siantar beberapa bulan yang lalu. Tapi tetap saja, ada dia di sampingku menggenggam jariku itu lebih dari cukup.
Banyak hal yang terjadi hari itu, kami tiba di Siantar pukul 18.00 kurang. Hujan perlahan turun. Baju kami basah kuyup. Untung di dalam ransel masih terlipat rapi jaket yang hangat, lekas saja kami menggantinya. Sepulang makan nasi goreng tempat langganan, aku menemani dia ke salah satu tukang pangkas. Hujan semakin deras, tapi aku harus berpura-pura tegar mengikhlaskan dia pergi ke tempat yang jauh, beda pulau :’) di H-2 ku. Aku menatap langit bersedih mengingat aku akan sendirian lagi. Sumpah, rasa sesak di dada ku kembali bergejolak seperti saat aku belum bertemu dia dulu. Pertemuan yang beberapa bulan itu kini harus ditutup dengan perpisahan yang menyedihkan seperti ini. Ya Tuhan, andai aku bisa memilih, aku tidak ingin bertemu dengannya apabila rasa sakitnya seperti ini harus melepaskan dia :’)
“Ternyata pengurusan keberangkatannya di kantor Walikota nya ditunda sampai besok. Lagian ini hari Minggu, dimana-mana instansi pasti tutuplah.”, katanya murung.
“Yah, padahal kita udah capek-capek ngejar waktu sampai ngebut kya tadi tau-tau nya engga jadi. Duh, aku jadi merasa sedih banget karna tadi engga ikut ujian.”, aku menimpali perkataannya dengan perasaan yang sangat sedih.
“Aku minta maaf ya. Gara-gara aku semuanya jadi gini. Aku udah ngecewain kam.”
“Enggak apa-apa. Sekarang kita kemana? Mumpung masih jam 6 sore. Dua hari lagi kam berangkat.”, kataku memasang raut wajah yang tegar. Aku tidak mengijinkan dia tau bagaimana sebenarnya perasaanku saat itu. Aku selalu memberikan kesan wajah yang bahagia bahkan saat mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini dan mengijinkan dia pergi untuk mengejar cita-citanya di negeri orang. Kami memutuskan menonton bioskop lagi dan menerobos hujan saat itu, di boncengan aku memeluknya dengan erat seolah hari itu bukan hari terakhir kami akan sama-sama.
Besoknya, dia menemuiku ke kantor pas jam makan siang. Membawa ku beberapa hadiah dan coklat :’) sontak aku terharu saat dia mengatakan “Maaf tanggal 14 Februari nanti aku ga bisa merayakan valentine sama-sama kam di sini. Jadi, hari ini lah kuberikan semuanya sama kam. Maaf cuma bisa memberikan ini.” Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca berharap Tuhan memberikan waktu satu hari lagi untuk aku puas bergandengan tangan dengannya. Aku melihatnya berlalu di hadapanku sambil memeluk erat coklat dan hadiah sederhana yang dia berikan. Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipiku. Lagi-lagi aku harus bersikap tegar.
Sekarang, semuanya bagaikan mimpi. Di penghujung malam, tepat pukul 10 tanggal 4 Februari, aku menemuinya secara diam-diam ke Depnaker. Membawa beberapa makanan dalam kantong plastik dan air minum serta minyak kayu putih. Tangannya menyentuhku perlahan, bisa kurasakan embusan napas hangatnya. Sedetik kemudian, kami telah larut dalam pelukan erat penuh haru, tepat di pintu gerbang kantor Depnaker.
“Sudahlah sayang, jangan sedih ya. Kan kita masih bisa chattan, video call atau telponan. Pokoknya nanti pas aku udah di sana, kita harus video call-an setiap hari.” Josua mengusap pipiku perlahan dan menatapku penuh cinta. Senyum manisnya terkembang.
“Janji ya.”, kata ku dengan mata berkaca-kaca.
“iya, janji. Sudah malam, aku gamau kam kenapa-kenapa di tengah jalan. Ayo sekarang pulang, pesan gojeknya. Aku harus masuk, nanti ketahuan sama kadis nya aku bisa kena marah loh.”, pintanya dengan sangat.
“Tapi aku... masih mau di sini.”, aku mulai bersedih.
Dia langsung meraihku mendekat. Di balik gerbang, daun-daun yang berguguran dan angin semilir lembut menjadi saksi saat dia mengecup bibirku sebagai tanda perpisahan.
Aku berlalu dan dia melambaikan tangan dari kejauhan. Aku masih terus memandang nya sampai lenyap di perjalananku. Aku pulang dengan perasaan sedih dan memikirkannya sepanjang malam. Malam yang harus kulewati dengan rasa sesak di dada saat aku tahu bahwa untuk seterusnya aku akan sendirian. Sore yang sepi saat aku menikmati kopi Bahagia sendirian tanpa dirinya lagi. Semua jalanan di kota Siantar terasa memaksa ku untuk terus semakin mengingat tentang dirinya, membangkitkan memori mengelilingi kota itu berdua bersamanya. Ketika hujan datang, bayangannya pun hadir begitu saja. Andai waktu bisa diulang, aku ingin lebih lama lagi bersamanya di kota ini.

“Aku berangkat dulu ya. Selamat menabung celengan rindu. Aku pasti akan sangat merindukanmu. ðŸ˜˜ðŸ¤—🤗🥺😢

Petualangan cinta baru saja dimulai. Aku siap menghadapi berbagai rintangan LDR. Aku dan dia juga sudah merencanakan untuk beberapa waktu dimana kami bisa bertemu dan kembali bergandengan tangan.


Karena bahagia yang sesungguhnya adalah soal rasa mengikhlaskan.
Batam – Siantar, 864km

Komentar